Selasa, 30 Oktober 2012

pengertian ibadah

2.1 Pengertian Ibadah
Kata ibadah yang berasal dari bahasa Arab telah menjadi bahasa melayu yang terpakai dan dipahami secara baik oleh orang-orang yang menggunakan bahasa melayu atau Indonesia. Ibadah dalam istilah bahasa Arab diartikan dengan berbakti, berkhidmt, tunduk, patuh, mengesakan dan merendahkan diri. Dalam istilah melayu diartikan sebagai suatu perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah yang didasari ketaatan untuk mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Juga daiartikan sebagai segala usaha lahir bathin sesuai dengan perintah Allah untuk mendapatkan kebahagiaan dan keselarasan hidup, baik terhadap diri sendiri, keluarga, masyarakat maupun terhadap alam semesta.
Ibadah dilakukan dengan penuh rasa ketaatan terhadap Allah SWT, mengharapkan keridhoan dan perlindungan dari Allah dan sebagai penyampaian rasa syukur atas segala nikmat hidup yang diterima. Ibadah dilakukan sesuai dengan petunjuk yang diberikan Allah, meskipun dalam keadaan tertentu apa yang dikehendaki Allah untuk dilakukan itu berada di luar jangkauan akal dan nalarnya, seperti lari kecil atau jalan cepat antara bukit Syafa dan bukit Marwa dalam pelaksanaan ibadah haji.
Hukum syariat yaitu hukum atau peraturan tertentu dalam agama Islam tentang kedudukan suatu perintah atau larangan dalam Islam. Ibadah kepada Allah SWT dibangun di atas dua pondasi yang besar yaitu: cinta yang sempurna kepada Allah SWT dan ketundukan yangsempurna pada-Nya. Dan keduanya juga dibangun di atas dua dasar yang besar, yaitu:
1- Merasa diawasi oleh Allah SWT, dan mengingat nikmat, karunia, kebaikan, dan rahmat-Nya yang mengharuskan kita mencintai-Nya,
2- Mengoreksi cacat dalam diri dan perbuatan yang menyebabkan kehinaan dan ketundukan yang sempurna kepada Allah SWT.

            Pintu terdekat yang memasukkan hamba kepada Rabb-nya adalah pintu iftiqar (menghinakan diri) kepada Rabb-nya. Maka, dia tidak melihat dirinya kecuali seorang yang merugi, dan dia tidak melihat adanya kondisi, kedudukan, dan sebab pada dirinya yang dia bergantung padanya, tidak pula ada perantara yang bisa membantunya. Akan tetapi dia merasa sangat membutuhkan kepada Rabb-Nya SWT, dan jika dia meninggalkan hal tersebut diri darinya niscara dia rugi dan binasa. Firman Allah SWT:
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan. Kemudian apabila Dia telah menghilangkan kemudharatan itu daripada kamu, tiba-tiba sebahagian daripada kamu mempersekutukan Rabbnya dengan (yang lain), biarlah mereka mengingkari nikmat yang telah Kami berikan kepada mereka; maka bersenang-senaglah kamu. Kelak kamu akan mengetahui (akibatnya). (QS. An-Nahl :53-55)
Dari Mu'azd bin Jabal r.a, ia berkata, "Saya membonceng Nabi SAW di atas keledai yang dinamakan 'afir, lalu 'Beliau SAW bersabda, 'Wahai Mu'adz,tahukah kamu apa hak Allah SWT terhadap hamba dan apa hak hambakepada Allah SWT? Saya menjawab. 'Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.' Beliau bersabda,: 'Sesungguhnya hak Allah SWT terhadaphamba adalah bahwa mereka menyembah Allah SWT dan tidakmenyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan hak hamba terhadap Allah SWT adalah bahwa Dia SWT tidak akan menyiksa orang yang tidakmenyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Saya bertanya, 'Wahai Rasulullah, bolehlah saya memberitahukan kepada manusia?' Beliau menjawab, 'Janganengkau beritakan kepada mereka, maka mereka menjadi enggan beramal (Muttafaqun 'alaih).
Kesempurnaan ibadah dapat diraih dengan memperhatikan hal-hal berikut:
1. Setiap hamba berbolak-balik di antara tiga perkara: (Pertama) nikmat-nikmat Allah SWT yang datang silih berganti kepadanya, maka kewajibannyaadalah memuji dan bersyukur. (Kedua) Dosa yang dikerjakannya, maka kewajibannya adalah meminta ampun darinya. Dan (ketiga) bala bencana yang ditimpakan Allah SWT kepadanya, maka kewajibannya adalah sabar. Barangsiapa yang melaksanakan tiga kewajiban ini, niscaya ia beruntung di dunia dan di akhirat.
2. Allah SWT menguji hamba-Nya untuk menguji kesabaran dan ubudiyah mereka, bukan untuk membinasakan dan menyiksa mereka. Maka, hak AllahSWT terhadap hamba-Nya adalah ubudiyah/penyembahan di waktu susah,sebagaimana kepada-Nya ubudiyah di kala senang. Kepada-Nya ubudiyahpada sesuatu yang dibenci, sebagaimana untuk-Nya ubudiyah pada sesuatuyang disukai. Mayoritas manusia memberikan ubudiyah/penyembahan padasesuatu yang mereka sukai, dan perkaranya adalah memberikan ubudiyahpada yang dibenci. Mereka saling berbeda dalam hal itu. Berwudhu denganair dingin pada saat panas yang luar biasa dan menikahi istrinya yang cantikadalah ubudiyah/ibadah. Dan berwudhu dengan air dingin pada saat dinginyang menusuk tulang adalah ibadah. Meninggalkan maksiat yang disenanginafsu tanpa ada rasa takut kepada manusia adalah ibadah, dan sabarterhadap rasa lapar dan sakit adalah ibadah, akan tetapi terdapat perbedaandi antara dua ibadah.

Maka, barangsiapa yang selalu beribadah kepada Allah SWT di saatsenang dan susah, dalam kondisi yang dibenci dan disukai, maka diatermasuk hamba Allah SWT yang tidak ada rasa takut atas mereka danmereka tidak berduka cita. Musuhnya tidak bisa menguasainya, maka AllahSWT menjaganya. Akan tetapi kadang syetan memperdayanya. Seseoranghamba diberi cobaan dengan lupa, syahwat, dan marah. Dan masuknyasyetan terhadap hamba berawal dari tiga pintu ini. Allah SWT menguasakan(memberikan otoritas) nafsu, keinginan dan syetannya kepada setiap hambadan mengujinya, apakah dia mentaatinya atau mentaati Rabb-nya.

Allah SWT memiliki perintah-perintah kepada manusia dan nafsu jugamemiliki perintah-perintah. Allah SWT menghendaki kesempurnaan iman danamal shaleh dari manusia, dan nafsu menghendaki kesempurnaan harta dan syahwat. Allah SWT menghendaki amal perbuatan untuk akhirat dari kita dan nafsu menghendaki perbuatan untuk dunia. Iman adalah jalan keselamatan dan lampu lentera yang dengannya dia melihat kebenaran dari yang lainnya dan inilah tempat cobaan.

2.2  Pembagian ibadah
Bila dikatakan bahwa fiqh adalah aturan-aturan yang rinci berdasarkan petunjuk Allah tentang apa yang dikehendaki  oleh Allah untuk dilakukan oleh manusia, maka fiqh itu secara garis besar memuat dua hal pokok. Pertama tentang apa yang harus dilakukan oleh seorang hamba Allah dalam hubungannya dengan sang pencipta. Kedua tentang apa yang harus dilakukan oleh seorang hamba dalam kaitannya dengan sesama manusia dan lingkungannya. Karena keduanya merupakan ibadah kepada Allah, maka untuk membedakan diantara keduanya, yang pertama disebut secara langsung dengan istilah ibadah mahdah atau ibadah secara langsung semata ditujukan kepada Allah SWT. Fiqh yang memuat aturan tentang bentuk pertama ini disebut fiqh ibadah. Adapun yang kedua disebut ibadah tidak langsung atau dengan istilah ibadah ijtima’iyah atau ibadah social. Fiqh yang memuat aturan-aturan tentang bentuk kedua ini disebut fiqh muamalat (muamalat berarti pergaulan baik sesama manusia dalam artian umum.
Perbedaan antara ibadah dan muamalah dalam artian ini adalah bahwa ibadah itu ditujukan secara langsung kepada Allah, sedangkan yang mendapat keuntungan dari perbuatan manusia itu adalah mereka sendiri. Muamalah meskipun ditujukan untuk manusia bagi kepentingan manusia, namun perbuatan itu dilakukan dalam rangka memenuhi kehendak Allah.
Secara garis besar ibadah pokok yang dalam kajian islam dimasukan ke dalam hukum wajib, baik wjib ‘aini atau wajib kifayah. Termasuk dalam kelompok ibadah pokok itu adalah apa yang menjadi rukun Islam dalam arti akan dinyatakan keluar dari Islam bila sengaja meninggalkannya yaitu sholat, zakat, puasa, dan haji yang kesemuanya didahului oleh ucapan syahadat.
Setiap ibadah dilakukan sesuai dengan petunjuk yang ada. Bila  berbeda dengan petunjuk yang ditetapkan maka ibadah itu tidak sah dalam arti tidak diterima oleh Allah yang menyuruh melakukan ibadah tersebut. Petunjuk tersebut menyangkut rukun, syarat, kaifiyat dan mubhtilat.
a.       Rukun adalah sesuatu yang harus dilakukan dan ia merupakan bagian dari perbuatan yang dilakukan. Umpamanya rukuk dan sujud dalam sholat.
b.      Syarat adalah sesuatu yang mesti dilakukan namun ia berada diluar perbuatan itu. Conoth wudhu merupakan syarat sholat.
c.       Kaifiyat berarti tata car dalam melakukan sesuatu yang didalamnya termasuk yang wajib dan disyaratkan dan termasuk pula perbuatan dalam perbuatan itu, seperti rangkaian perbuatan sholat secara sempurna.
d.      Mubhthilat adalah sesuatu yang dapat merusak arti dari apa yang dilakukan dan menjadikannya tidak sah meskipun rukun dan syaratnya sudah terpenuhi. Umpamanya makan pada saat sholat.
Muamalat dalam artian umum yang berarti pergaulan atau hubungan antara sesama manusia ini, melihat kepada kaitannya dengan apa hubungan antara sesama manusia itu berlaku terbagi pada beberapa cabang:
1.      Hubungan antara sesama manusia berkaitan dengan harta dan kebutuhannya kepada pemilikan harta itu. Aturan dalam bentuk ini disebut fiqh muamalat dalam artian khusus seperti jual beli, sewa-menyewa, dan serikat usaha.
2.      Hubungan antara sesama manusia berkaitan dengan bagaimana melanjutkan keturunan. Aturan dalam bentuk ini disebut fiqh munakahat atau perkawinan.
3.      Hubungan antara sesama manusia berkaitan dengan hal warisan yang disebut fiqh mawarits
4.      Hubungan sesama manusia berkaitan terjadinya kejahatan dan sanksi untuk mencegah terjadinya kejahatan tersebut. Aturan tersebut adalah fiqh jinayat atau pidana
5.      Hubungan antara sesama manusia berkaitan dengan usaha untuk mendapatkan hak dan keadilan di pengadilan. Aturan dalam bentuk ini disebut fiqh muraf’at atau qadha atau disebut juga hukum acara
6.      Hubungan manusia dalam kaitannya dengan pemimpinnya dalam kehidupan bernegara dan berbangsa yang disebut fiqh dusturiyah atau disebut juga hukum tata acara
7.      Hubungan dalam suatu Negara dengan Negara lain dalam mas perang dan damai. Aturan ini disebut fiqh dualiyah atau disebut juga hukum antar Negara atau internasional

2.3  Hikmah ibadah
Hakikat dari ibadah adalah penyempurnaan akhlakul karimah sesuai dengan Islam, Iman, dan Ihsan. Bila telah menemui ketiga kriteria tersebut sesorang akan menemukan jati dirinya. Sudah menjadi ketentuan dalam kehendak Tuhan bahwa tiap-toap makhluk yang bernyawa di muka bumi, seperti manusia, binatang dan lain sebagainya.
Setiap ibadah yang dilakukan oleh kita mengandung hikmah dan tujuan mulia yang tersirat dan butuh sebuah usaha serius untuk meraihnya. Berikut adalah hikmah yang  terdapat pada setiap ibadah yang kita lakukan:
a.       Hikmah Sholat
Shalat merupakan hubungan antara seorang hamba dengan Tuhannya, ia adalah tiang agama, seorang muslim bisa mendapatkan lezatnya bermunajat dengan tuhannya ketika shalat, sebab jiwanya menjadi tenang, hatinya tentram, dadanya lapang, keperluannya terpenuhi, dan dengannya sesorang bisa tenag dari kebimbangan dan problematika duniawi.
Secara lahiriyah Shalat berkaitan dengan perbuatan badan seperti berdiri, duduk, ruku', sujud, dan semua perkataan dan perbuatan. Dan secara bathiniyah berkaitan dengan hati, yaitu dengan mengagungkan Allah I, membesarkanNya, takut, cinta, taat, memuji, dan bersyukur kepadaNya, bersikap  merendah dan patuh kepada Allah. Perbuatan dzahir bisa terwujud dengan melakukan apa yang diajarkan oleh Nabi r dalam shalat, sedangkan yang batin bisa dicapai dengan bertauhid dan beriman, ikhlas dan khusyu'.
Shalat mempunyai jasad dan ruh. Adapun jasadnya adalah berdiri, ruku', suju, dan membaca bacaan. Adapun rohnya adalah: Mengagungkan Allah, takut memuji, memohon, meminta ampun kepadaNya, memujaNya, mengucapkan shalawat dan salam kepada rasulNya, keluarga beliau, dan hamba-hamba Allah yang shalih.
Bahkan akhir-akhir ini telah ditemukan sebuah hasil mencengangkan dalam dunia kedokteran yang menemukan khasiat dari sholat bagi kesehatan.
b.      Hikmah Puasa
1.      Puasa adalah wasilah (sarana) untuk bertaqwa kepada Allah SWT dengan melakukan kewajiban dan meninggalkan yang diharamkan.
2.      Puasa membiasakan manusia menahan jiwa dan mengekang hawa nafsunya, dan latihan memikul tanggung jawab dan sabar terhadap kesulitan.
3.      Puasa membuat seorang muslim dapat merasakan penderitaan saudara-saudaranya, lalu hal itu mendorongnya berinfak dan berbuat baik kepada fakir miskin, maka dengan hal itu terwujudlah cinta kasih dan persaudaraan.
4.      Dengan puasa dapat membersihkan diri dan mensucikannya dari akhlak yang kotor dan campuran yang hina. Dan saat berpuasa merupakan waktu istirahat bagi pencernaan, lambung beristirahat, lalu saat berbuka mengembalikan aktivitas dan kekuatannya.
c.       Hikmah Zakat
1.      Mengambil harta zakat bukanlah bertujuan mengumpulkan harta dan membagikannya kepada fakir miskin dan yang membutuhkan saja. Tetapi tujuan utamanya adalah agar manusia berada di atas harta, agar ia menjadi tuan bagi harta, bukan menjadi hamba harta. Dan dari sini datanglah kewajiban zakat untuk mensucikan yang memberi dan yang menerima, dan membersihkan keduanya.
2.      . Zakat, sekalipun secara lahiriahnya mengurangi jumlah harta, akan tetapi dampaknya menambah keberkahan harta, menambah jumlah harta, menambah iman di hati pelakunya, dan menambah kemuliaan akhlaknya. Ia adalah pengorbanan dan pemberian, mengorbankan yang disukai jiwa demi hal yang lebih dicintai, yaitu ridha Rabb-nya SWT dan meraih surga-Nya.
3.      . Tatanan harta di dalam Islam berdiri di atas dasar pengakuan bahwa hanya Allah SWT pemilik asli terhadap harta. Hanya Allah SWT saja yang mempunyai hak dalam mengatur persoalan kepemilikan, mewajibkan hak-hak dalam harta, membatasi dan menentukannya, menjelaskan penyalurannya, cara-cara memperoleh dan membelanjakannya.
4.      . Zakat menebus segala kesalahan, ia adalah penyebab masuk surga dan selamat dari neraka.
5.      . Allah SWT mensyari'atkan dan mendorong untuk menunaikan zakat, karena zakat mengandung pembersihan jiwa dari kehinaan bakhil dan kikir. Ia merupakan jembatan kuat yang menghubungkan  antara orang-orang kaya dan orang-orang fakir, sehingga jiwa menjadi bersih, hati menjadi baik, dada menjadi lapang, dan semua menikmati rasa aman, cinta dan persaudaraan.
6.      . Zakat menambah kebaikan orang yang menunaikannya, memelihara hartanya dari segala penyakit, membuahkannya, mengembangkannya, dan menambahnya, menutupi kebutuhan fakir miskin, menghalangi kriminalitas dalam bidang harta seperti pencurian, perampasan, dan perampokan.
d.      Hikmah Haji
1.      Haji merupakan ekspresi pelaksanaan persaudaraan Islam dan persatuan umat Islam. Di mana sirna dalam ibadah haji segala perbedaan jenis, warna, bahasa, tanah air dan tingkatan, dan nampak hakekat penghambaan dan persaudaraan. Semua dengan satu pakaian, menghadap kepada satu qiblat dan menyembah satu Ilah (Tuhan).
2.      Haji merupakan madrasah, padanya seorang muslim membiasakan diri untuk sabar, ingat hari kiamat dan huru haranya, merasakan kelezatan menyembah Allah SWT, mengenal keagungan Rabb-nya, dan fakirnya semua makhluk kepada-Nya.
3.      Haji adalah musim besar untuk memperoleh pahala, dilipat gandakan kebaikan dan ditebus segala kesalahan padanya, padanya hamba bersimpuh di hadapan Rabb-nya dengan berikrar mentauhidkan-Nya, mengakui dosanya dan lemahnya ia dalam melaksanakan hak Rabb-nya. Sehingga ia pulang dari haji dalam keadaan bersih dari dosa, seperti hari ia dilahirkan ibunya.
4.      Ibadah haji mengingatkan keadaan para nabi dan rasul 'alaihimusshalatu wassalaam dan ibadah, dakwah dan jihad serta akhlak mereka, dan menanamkan jiwa berpisah keluarga dan anak.
5.      Haji adalah timbangan, yang dengannya kaum msulimin mengenal keadaan dan kondisi mereka dalam hal ilmu pengetahuan dan kebodohan, kaya dan fakir, istiqamah atau penyimpangan.

2.4  Perkembangan fiqh pembahasan tentang ibadah
Ikhtilaf (perbedaan) bisa dibedakan menjadi dua. Pertama, ikhtilaful qulub (perbedaan dan perselisihan hati) yang termasuk kategori tafarruq (perpecahan) dan oleh karenanya ia tertolak dan tidak ditolerir. Dan ini mencakup serta meliputi semua jenis perbedaan dan perselisihan yang terjadi antar ummat manusia, tanpa membedakan tingkatan, topik masalah, faktor penyebab, unsur pelaku, dan lain-lain. Yang jelas jika suatu perselisihan telah memasuki wilayah hati, sehingga memunculkan rasa kebencian, permusuhan, sikap wala’-bara’, dan semacamnya, maka berarti itu termasuk tafarruq (perpecahan) yang tertolak dan tidak ditolerir.
Kedua, ikhtilaful ‘uqul wal afkar (perbedaan dan perselisihan dalam hal pemikiran dan pemahaman), yang masih bisa dibagi lagi menjadi dua:
1.    Ikhtilaf dalam masalah-masalah ushul (prinsip). Ini jelas termasuk kategori tafarruq atau iftiraq(perpecahan) dan oleh karenanya ia tertolak dan tidak ditolerir. Maka pembahasannya tidak termasuk dalam materi fiqhul ikhtilaf, melainkan dalam materi aqidah, yang biasa saya sebut dan istilahkan dengan fiqhul iftiraq (fiqih perpecahan). Dan perselisihan jenis inilah yang melahirkan kelompok-kelompok sempalan dan menyimpang di dalam Islam yang biasa dikenal dengan sebutan firaq daallah (firqah-firqah sesat) dan ahlul bida’ wal ahwaa’ (ahli bid’ah aqidah dan mengikut hawa nafsu), seperti Khawarij, Rawafidh (Syi’ah), Qadariyah (Mu’tazilah dan Jabriyah), Jahmiyah, Murji-ah, dan lain-lain.
2.    Ikhtilaf dalam masalah-masalah furu’ (cabang, non prinsip). Inilah perbedaan dan perselisihan yang secara umum termasuk kategori ikhtilafut tanawwu’ (perbedaan keragaman) yang diterima dan ditolerir, selama tidak berubah menjadi perbedaan dan perselisihan hati. Dan ikhtilaf jenis inilah yang menjadi bahasan utama dalam materi fiqhul ikhtilaf pada umumnya, dan dalam tulisan ini pada khususnya.

Antara Ikhtilaf (Perbedaan) dan Tafarruq (Perpecahan)
Setiap tafarruq (perpecahan) merupakan ikhtilaf (perbedaan), namun tidak setiap ikhtilaf (perbedaan) merupakan tafarruq (perpecahan). Namun setiap ikhtilaf bisa dan berpotensi untuk berubah menjadi tafarruq atau iftiraq antara lain karena:
1.    Faktor pengaruh hawa nafsu, yang memunculkan misalnya ta’ashub (fanatisme) yang tercela, sikap kultus individu atau tokoh, sikap mutlak-mutlakan atau menang-menangan dalam berbeda pendapat, dan semacamnya. Dan faktor pelibatan hawa nafsu inilah secara umum yang mengubah perbedaan wacana dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah yang ditolerir menjadi perselisihan hati yang tercela.  
2.    Salah persepsi (salah mempersepsikan masalah, misalnya salah mempersepsikan masalah furu’ sebagai masalah ushul). Dan ini biasanya terjadi pada sebagian kalangan ummat Islam yang tidak mengakui dan tidak memiliki fiqhul ikhtilaf. Yang mereka miliki hanyalah fiqhuttafarruq wal iftiraq (fiqih perpecahan), dimana bagi mereka setiap perbedaan dan perselisihan merupakan bentuk perpecahan yang tidak mereka tolerir, dan karenanya senantiasa disikapi dengan sikap wala’ dan bara’ (?).
3.    Tidak menjaga moralitas, akhlaq, adab dan etika dalam berbeda pendapat dan dalam menyikapi para pemilik atau pengikut madzhab dan pendapat lain. 
Hakekat Ikhtilaf dalam  Masalah-masalah Furu’
1.    Ikhtilaf (perbedaan pendapat) yang dimaksud adalah : perbedaan pendapat yang terjadi di antara para imam mujtahid dan ulama mu’tabar (yang diakui) dalam masalah-masalah furu’ yang merupakan hasil dan sekaligus konsekuensi dari proses ijtihad yang mereka lakukan. Sehingga perlu ditegaskan di sini bahwa, yang dimaksudkan dengan ikhtilaf yang ditolerir itu bukanlah setiap fenomena perbedaan dan perselisihan atau kontroversi dalam bidang agama yang secara riil terjadi di antara kelompok-kelompok dan golongan-golongan ummat di masyarakat saat ini misalnya. Karena faktanya, sudah banyak sekali bentuk dan materi perselisihan di tengah-tengah masyarakat muslim saat ini, bahkan yang melibatkan sebagian kalangan yang dikenal ’ulama’ sekalipun, yang sudah termasuk kategori masalah ushul dan bukan masalah furu’ lagi.
2.    Fenomena perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’ (ijtihadiyah) adalah fenomena yang normal, wajar dan alami, karena dua hal (minimal): 1) Tabiat banyak teks dalil syar’i (baik sebagian teks ayat Al-Qur’an, maupun khususnya teks Al-Hadits) yang memang dari sononya telah berpotensi untuk diperdebatkan dan diperselisihkan. 2) Tabiat akal manusia yang beragam daya pikirnya dan bertingkat-tingkat kemampuan pemahamannya. Maka hitungan matematikanya adalah: Teks dalil yang multi interpretasi + Akal yang berbeda-beda = Perbedaan dan perselisihan!
3.    Fenomena perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’(ijtihadiyah) adalah fenomena klasik yang sudah terjadi sejak generasi salaf, dan merupakan realita yang diakui, diterima dan tidak mungkin ditolak atau dihilangkan sampai kapanpun, karena memang sebab-sebab yang melatarbelakanginya akan tetap selalu ada, dan bahkan semakin bertambah banyak
Sebab – Sebab Terjadinya  Ikhtilaf
Dapat disimpulkan dan dikelompokkan kedalam empat sebab utama:
1.    Perbedaan pendapat tentang valid - tidaknya suatu teks dalil syar’i tertentu sebagai hujjah (tentu saja ini tertuju kepada teks hadits, yang memang ada yang shahih dan ada yang dha’if, dan tidak tertuju kepada teks ayat Al-Qur’an, karena seluruh ayat Al-Qur’an disepakati valid, shahih dan bahkan mutawatir).
2.    Perbedaan pendapat dalam menginterpretasikan teks dalil syar’i tertentu. Jadi meskipun suatu dalil telah disepakati keshahihannya, namun potensi perbedaan dan perselisihan tetap saja terbuka lebar. Dan hal itu disebabkan karena adanya perbedaan dan perselisihan para ulama dalam memahami, menafsirkan dan menginterpretasikannya, juga dalam melakukan pemaduan atau pentarjihan antara dalil tersebut dan dalil-dalil lain yang terkait.
3.    Perbedaan pendapat tentang beberapa kaidah ushul fiqh dan beberapa dalil (sumber) hukum syar’i (dalam masalah-masalah yang tidak ada nash-nya) yang memang diperselisihkan di antara para ulama, seperti qiyas, istihsan, mashalih mursalah, ’urf, saddudz-dzara-i’, syar’u man qablana, dan lain-lain.
4.    Perbedaan pendapat yang dilatar belakangi oleh perubahan realita kehidupan, situasi, kondisi, tempat, masyarakat, dan semacamnya. Oleh karenanya, di kalangan para ulama dikenal ungkapan bahwa, suatu fatwa tentang hukum syar’i tertentu bisa saja berubah karena berubahnya faktor zaman, tempat dan faktor manusia (masyarakat). Dan sebagai contoh misalnya, dalam beberapa masalah di madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dikenal terdapat qaul qadiim (pendapat lama, yakni saat beliau tinggal di Baghdad Iraq) dan qaul jadiid (pendapat baru , yakni setelah beliau tinggal di Kairo Mesir). Begitu pula dalam madzhab Imam Ahmad rahimahullah, dikenal banyak sekali riwayat-riwayat yang berbeda-beda dari beliau tentang hukum masalah-masalah tertentu.
Bagaimana Menyikapi Ikhtilaf ?
1.    Membekali diri dan mendasari sikap sebaik-baiknya dengan ilmu, iman, amal dan akhlaq secara proporsional. Karena tanpa pemaduan itu semua, akan sangat sulit sekali bagi seseorang untuk bisa menyikapi setiap masalah dengan benar, tepat dan proporsional, apalagi jika itu masalah ikhtilaf atau khilafiyah.
2.    Memfokuskan dan lebih memprioritaskan perhatian dan kepedulian terhadap masalah-masalah besar ummat, daripada perhatian terhadap masalah-masalah kecil seperti masalah-masalah khilafiyah misalnya. Karena tanpa sikap dasar seperti itu, biasanya seseorang akan cenderung ghuluw (berlebih-lebihan) dan tatharruf (ekstrem) dalam menyikapi setiap masalah khilafiyah yang ada.
3.    Memahami ikhtilaf dengan benar, mengakui dan menerimanya sebagai bagian dari rahmat Allah bagi ummat. Dan ini adalah salah satu bagian dari ittibaa’us-salaf (mengikuti ulama salaf), karena memang begitulah sikap mereka, yang kemudian diikuti dan dilanjutkan oleh para ulama ahlus-sunnah wal-jama’ah sepanjang sejarah. Dan dalam konteks ini mungkin perlu diingatkan bahwa, nash (teks) ungkapan yang selama dikenal luas sebagai hadits, yakni yang berbunyi: Ikhtilafu ummati rahmatu (perselisihan ummatku adalah rahmat), bukanlah shahih sebagai hadits Nabi shallallahu ’alaihi wasallam. Karenanya bukanlah ”hadits” tersebut yang menjadi dasar sikap penerimaan ikhtilaf sebagai rahmat bagi ummat itu. Namun dasarnya adalah warisan sikap dari para ulama salaf dan khalaf yang hampir sepakat dalam masalah ini. Sampai-sampai ada ulama yang menulis kitab dengan judul: Rahmatul Ummah Fi-khtilafil Aimmah (Rahmat bagi Ummat dalam perbedaan pendapat para imam).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar