2.1 Pengertian Ibadah
Kata ibadah yang berasal dari bahasa Arab telah
menjadi bahasa melayu yang terpakai dan dipahami secara baik oleh orang-orang
yang menggunakan bahasa melayu atau Indonesia. Ibadah dalam istilah bahasa Arab
diartikan dengan berbakti, berkhidmt, tunduk, patuh, mengesakan dan merendahkan
diri. Dalam istilah melayu diartikan sebagai suatu perbuatan untuk menyatakan
bakti kepada Allah yang didasari ketaatan untuk mengerjakan perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya. Juga daiartikan sebagai segala usaha lahir bathin sesuai
dengan perintah Allah untuk mendapatkan kebahagiaan dan keselarasan hidup, baik
terhadap diri sendiri, keluarga, masyarakat maupun terhadap alam semesta.
Ibadah dilakukan dengan penuh rasa ketaatan terhadap
Allah SWT, mengharapkan keridhoan dan perlindungan dari Allah dan sebagai
penyampaian rasa syukur atas segala nikmat hidup yang diterima. Ibadah
dilakukan sesuai dengan petunjuk yang diberikan Allah, meskipun dalam keadaan
tertentu apa yang dikehendaki Allah untuk dilakukan itu berada di luar jangkauan
akal dan nalarnya, seperti lari kecil atau jalan cepat antara bukit Syafa dan
bukit Marwa dalam pelaksanaan ibadah haji.
Hukum syariat yaitu hukum atau peraturan
tertentu dalam agama Islam tentang kedudukan suatu perintah atau larangan dalam
Islam. Ibadah kepada Allah SWT dibangun di atas dua pondasi yang besar yaitu: cinta yang sempurna kepada Allah SWT
dan ketundukan yangsempurna pada-Nya.
Dan keduanya juga dibangun di atas dua dasar yang besar, yaitu:
1-
Merasa diawasi oleh Allah SWT, dan mengingat nikmat, karunia, kebaikan, dan
rahmat-Nya yang mengharuskan kita mencintai-Nya,
2-
Mengoreksi cacat dalam diri dan perbuatan yang menyebabkan kehinaan dan
ketundukan yang sempurna kepada Allah SWT.
Pintu terdekat yang memasukkan hamba
kepada Rabb-nya adalah pintu iftiqar
(menghinakan diri) kepada Rabb-nya. Maka, dia tidak melihat
dirinya kecuali seorang yang merugi, dan dia tidak melihat adanya kondisi,
kedudukan, dan sebab pada dirinya yang dia bergantung padanya, tidak pula ada
perantara yang bisa membantunya. Akan tetapi dia merasa sangat membutuhkan
kepada Rabb-Nya SWT, dan jika dia meninggalkan hal tersebut diri darinya
niscara dia rugi dan binasa. Firman Allah SWT:
“Dan
apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila
kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta
pertolongan. Kemudian apabila Dia telah menghilangkan kemudharatan itu daripada
kamu, tiba-tiba sebahagian daripada kamu mempersekutukan Rabbnya dengan (yang
lain), biarlah mereka mengingkari nikmat yang telah Kami berikan kepada mereka;
maka bersenang-senaglah kamu. Kelak kamu akan mengetahui (akibatnya). (QS.
An-Nahl :53-55)
Dari Mu'azd bin Jabal r.a, ia berkata,
"Saya membonceng Nabi SAW di atas keledai yang dinamakan 'afir, lalu
'Beliau SAW bersabda, 'Wahai Mu'adz,tahukah kamu apa hak Allah SWT terhadap
hamba dan apa hak hambakepada Allah SWT? Saya menjawab. 'Allah dan
Rasul-Nya yang lebih mengetahui.' Beliau bersabda,: 'Sesungguhnya hak Allah SWT
terhadaphamba adalah bahwa mereka menyembah Allah SWT dan tidakmenyekutukan-Nya
dengan sesuatupun. Dan hak hamba terhadap Allah SWT adalah bahwa Dia SWT
tidak akan menyiksa orang yang tidakmenyekutukan-Nya dengan sesuatupun.
Saya bertanya, 'Wahai Rasulullah, bolehlah saya memberitahukan kepada manusia?'
Beliau menjawab, 'Janganengkau beritakan kepada mereka, maka mereka menjadi
enggan beramal (Muttafaqun 'alaih).
Kesempurnaan ibadah dapat diraih dengan
memperhatikan hal-hal berikut:
1.
Setiap hamba berbolak-balik di antara tiga perkara: (Pertama) nikmat-nikmat
Allah SWT yang datang silih berganti kepadanya, maka kewajibannyaadalah memuji
dan bersyukur. (Kedua) Dosa yang dikerjakannya, maka kewajibannya adalah
meminta ampun darinya. Dan (ketiga) bala bencana yang ditimpakan Allah SWT
kepadanya, maka kewajibannya adalah sabar. Barangsiapa yang melaksanakan tiga
kewajiban ini, niscaya ia beruntung di dunia dan di akhirat.
2.
Allah SWT menguji hamba-Nya untuk menguji kesabaran dan ubudiyah mereka,
bukan untuk membinasakan dan menyiksa mereka. Maka, hak AllahSWT terhadap hamba-Nya
adalah ubudiyah/penyembahan di waktu susah,sebagaimana kepada-Nya ubudiyah di
kala senang. Kepada-Nya ubudiyahpada sesuatu yang dibenci, sebagaimana
untuk-Nya ubudiyah pada sesuatuyang disukai. Mayoritas manusia memberikan
ubudiyah/penyembahan padasesuatu yang mereka sukai, dan perkaranya adalah
memberikan ubudiyahpada yang dibenci. Mereka saling berbeda dalam hal itu.
Berwudhu denganair dingin pada saat panas yang luar biasa dan menikahi istrinya
yang cantikadalah ubudiyah/ibadah. Dan berwudhu dengan air dingin pada saat
dinginyang menusuk tulang adalah ibadah. Meninggalkan maksiat yang
disenanginafsu tanpa ada rasa takut kepada manusia adalah ibadah, dan
sabarterhadap rasa lapar dan sakit adalah ibadah, akan tetapi terdapat
perbedaandi antara dua ibadah.
Maka, barangsiapa yang selalu beribadah
kepada Allah SWT di saatsenang dan susah, dalam kondisi yang dibenci dan
disukai, maka diatermasuk hamba Allah SWT yang tidak ada rasa takut atas mereka
danmereka tidak berduka cita. Musuhnya tidak bisa menguasainya, maka AllahSWT
menjaganya. Akan tetapi kadang syetan memperdayanya. Seseoranghamba diberi
cobaan dengan lupa, syahwat, dan marah. Dan masuknyasyetan terhadap hamba
berawal dari tiga pintu ini. Allah SWT menguasakan(memberikan otoritas) nafsu,
keinginan dan syetannya kepada setiap hambadan mengujinya, apakah dia
mentaatinya atau mentaati Rabb-nya.
Allah SWT memiliki perintah-perintah
kepada manusia dan nafsu jugamemiliki perintah-perintah. Allah SWT menghendaki
kesempurnaan iman danamal shaleh dari manusia, dan nafsu menghendaki
kesempurnaan harta dan syahwat. Allah SWT menghendaki amal perbuatan untuk
akhirat dari kita dan nafsu menghendaki perbuatan untuk dunia. Iman adalah
jalan keselamatan dan lampu lentera yang dengannya dia melihat kebenaran dari
yang lainnya dan inilah tempat cobaan.
2.2
Pembagian
ibadah
Bila
dikatakan bahwa fiqh adalah aturan-aturan yang rinci berdasarkan petunjuk Allah
tentang apa yang dikehendaki oleh Allah
untuk dilakukan oleh manusia, maka fiqh itu secara garis besar memuat dua hal
pokok. Pertama tentang apa yang harus dilakukan oleh seorang hamba Allah dalam
hubungannya dengan sang pencipta. Kedua tentang apa yang harus dilakukan oleh
seorang hamba dalam kaitannya dengan sesama manusia dan lingkungannya. Karena
keduanya merupakan ibadah kepada Allah, maka untuk membedakan diantara
keduanya, yang pertama disebut secara langsung dengan istilah ibadah mahdah atau ibadah secara
langsung semata ditujukan kepada Allah SWT. Fiqh yang memuat aturan tentang
bentuk pertama ini disebut fiqh ibadah. Adapun yang kedua disebut ibadah tidak
langsung atau dengan istilah ibadah ijtima’iyah
atau ibadah social. Fiqh yang memuat aturan-aturan tentang bentuk kedua ini
disebut fiqh muamalat (muamalat
berarti pergaulan baik sesama manusia dalam artian umum.
Perbedaan
antara ibadah dan muamalah dalam artian ini adalah bahwa ibadah itu ditujukan
secara langsung kepada Allah, sedangkan yang mendapat keuntungan dari perbuatan
manusia itu adalah mereka sendiri. Muamalah meskipun ditujukan untuk manusia bagi
kepentingan manusia, namun perbuatan itu dilakukan dalam rangka memenuhi
kehendak Allah.
Secara
garis besar ibadah pokok yang dalam kajian islam dimasukan ke dalam hukum
wajib, baik wjib ‘aini atau wajib kifayah. Termasuk dalam kelompok ibadah pokok
itu adalah apa yang menjadi rukun Islam dalam arti akan dinyatakan keluar dari
Islam bila sengaja meninggalkannya yaitu sholat, zakat, puasa, dan haji yang
kesemuanya didahului oleh ucapan syahadat.
Setiap
ibadah dilakukan sesuai dengan petunjuk yang ada. Bila berbeda dengan petunjuk yang ditetapkan maka
ibadah itu tidak sah dalam arti tidak diterima oleh Allah yang menyuruh
melakukan ibadah tersebut. Petunjuk tersebut menyangkut rukun, syarat, kaifiyat
dan mubhtilat.
a. Rukun
adalah sesuatu yang harus dilakukan dan ia merupakan bagian dari perbuatan yang
dilakukan. Umpamanya rukuk dan sujud dalam sholat.
b. Syarat
adalah sesuatu yang mesti dilakukan namun ia berada diluar perbuatan itu.
Conoth wudhu merupakan syarat sholat.
c. Kaifiyat
berarti tata car dalam melakukan sesuatu yang didalamnya termasuk yang wajib
dan disyaratkan dan termasuk pula perbuatan dalam perbuatan itu, seperti
rangkaian perbuatan sholat secara sempurna.
d. Mubhthilat
adalah sesuatu yang dapat merusak arti dari apa yang dilakukan dan menjadikannya
tidak sah meskipun rukun dan syaratnya sudah terpenuhi. Umpamanya makan pada
saat sholat.
Muamalat
dalam artian umum yang berarti pergaulan atau hubungan antara sesama manusia
ini, melihat kepada kaitannya dengan apa hubungan antara sesama manusia itu
berlaku terbagi pada beberapa cabang:
1. Hubungan
antara sesama manusia berkaitan dengan harta dan kebutuhannya kepada pemilikan
harta itu. Aturan dalam bentuk ini disebut fiqh
muamalat dalam artian khusus seperti jual beli, sewa-menyewa, dan serikat
usaha.
2. Hubungan
antara sesama manusia berkaitan dengan bagaimana melanjutkan keturunan. Aturan
dalam bentuk ini disebut fiqh munakahat atau
perkawinan.
3. Hubungan
antara sesama manusia berkaitan dengan hal warisan yang disebut fiqh mawarits
4. Hubungan
sesama manusia berkaitan terjadinya kejahatan dan sanksi untuk mencegah
terjadinya kejahatan tersebut. Aturan tersebut adalah fiqh jinayat atau pidana
5. Hubungan
antara sesama manusia berkaitan dengan usaha untuk mendapatkan hak dan keadilan
di pengadilan. Aturan dalam bentuk ini disebut fiqh muraf’at atau qadha atau disebut juga hukum acara
6. Hubungan
manusia dalam kaitannya dengan pemimpinnya dalam kehidupan bernegara dan
berbangsa yang disebut fiqh dusturiyah
atau disebut juga hukum tata acara
7. Hubungan
dalam suatu Negara dengan Negara lain dalam mas perang dan damai. Aturan ini
disebut fiqh dualiyah atau disebut
juga hukum antar Negara atau internasional
2.3
Hikmah
ibadah
Hakikat
dari ibadah adalah penyempurnaan akhlakul karimah sesuai dengan Islam, Iman,
dan Ihsan. Bila telah menemui ketiga kriteria tersebut sesorang akan menemukan
jati dirinya. Sudah menjadi ketentuan dalam kehendak Tuhan bahwa tiap-toap
makhluk yang bernyawa di muka bumi, seperti manusia, binatang dan lain
sebagainya.
Setiap
ibadah yang dilakukan oleh kita mengandung hikmah dan tujuan mulia yang
tersirat dan butuh sebuah usaha serius untuk meraihnya. Berikut adalah hikmah
yang terdapat pada setiap ibadah yang
kita lakukan:
a. Hikmah
Sholat
Shalat merupakan hubungan antara seorang hamba
dengan Tuhannya, ia adalah tiang agama, seorang muslim bisa mendapatkan
lezatnya bermunajat dengan tuhannya ketika shalat, sebab jiwanya menjadi
tenang, hatinya tentram, dadanya lapang, keperluannya terpenuhi, dan dengannya
sesorang bisa tenag dari kebimbangan dan problematika duniawi.
Secara lahiriyah Shalat berkaitan dengan perbuatan
badan seperti berdiri, duduk, ruku', sujud, dan semua perkataan dan perbuatan.
Dan secara bathiniyah berkaitan dengan hati, yaitu dengan mengagungkan Allah I, membesarkanNya,
takut, cinta, taat, memuji, dan bersyukur kepadaNya, bersikap merendah dan patuh kepada Allah. Perbuatan
dzahir bisa terwujud dengan melakukan apa yang diajarkan oleh Nabi r dalam shalat,
sedangkan yang batin bisa dicapai dengan bertauhid dan beriman, ikhlas dan
khusyu'.
Shalat mempunyai jasad dan ruh. Adapun jasadnya
adalah berdiri, ruku', suju, dan membaca bacaan. Adapun rohnya adalah:
Mengagungkan Allah, takut memuji, memohon, meminta ampun kepadaNya, memujaNya,
mengucapkan shalawat dan salam kepada rasulNya, keluarga beliau, dan
hamba-hamba Allah yang shalih.
Bahkan akhir-akhir ini telah ditemukan sebuah hasil
mencengangkan dalam dunia kedokteran yang menemukan khasiat dari sholat bagi
kesehatan.
b. Hikmah
Puasa
1.
Puasa
adalah wasilah (sarana) untuk bertaqwa kepada Allah SWT dengan melakukan
kewajiban dan meninggalkan yang diharamkan.
2.
Puasa
membiasakan manusia menahan jiwa dan mengekang hawa nafsunya, dan latihan
memikul tanggung jawab dan sabar terhadap kesulitan.
3.
Puasa
membuat seorang muslim dapat merasakan penderitaan saudara-saudaranya, lalu hal
itu mendorongnya berinfak dan berbuat baik kepada fakir miskin, maka dengan hal
itu terwujudlah cinta kasih dan persaudaraan.
4.
Dengan
puasa dapat membersihkan diri dan mensucikannya dari akhlak yang kotor dan
campuran yang hina. Dan saat berpuasa merupakan waktu istirahat bagi
pencernaan, lambung beristirahat, lalu saat berbuka mengembalikan aktivitas dan
kekuatannya.
c. Hikmah
Zakat
1.
Mengambil
harta zakat bukanlah bertujuan mengumpulkan harta dan membagikannya kepada
fakir miskin dan yang membutuhkan saja. Tetapi tujuan utamanya adalah agar
manusia berada di atas harta, agar ia menjadi tuan bagi harta, bukan menjadi
hamba harta. Dan dari sini datanglah kewajiban zakat untuk mensucikan yang
memberi dan yang menerima, dan membersihkan keduanya.
2.
.
Zakat, sekalipun secara lahiriahnya mengurangi jumlah harta, akan tetapi
dampaknya menambah keberkahan harta, menambah jumlah harta, menambah iman di
hati pelakunya, dan menambah kemuliaan akhlaknya. Ia adalah pengorbanan dan
pemberian, mengorbankan yang disukai jiwa demi hal yang lebih dicintai, yaitu
ridha Rabb-nya SWT dan meraih surga-Nya.
3.
.
Tatanan harta di dalam Islam berdiri di atas dasar pengakuan bahwa hanya Allah
SWT pemilik asli terhadap harta. Hanya Allah SWT saja yang mempunyai hak dalam
mengatur persoalan kepemilikan, mewajibkan hak-hak dalam harta, membatasi dan
menentukannya, menjelaskan penyalurannya, cara-cara memperoleh dan
membelanjakannya.
4.
.
Zakat menebus segala kesalahan, ia adalah penyebab masuk surga dan selamat dari
neraka.
5.
.
Allah SWT mensyari'atkan dan mendorong untuk menunaikan zakat, karena zakat
mengandung pembersihan jiwa dari kehinaan bakhil dan kikir. Ia merupakan
jembatan kuat yang menghubungkan antara
orang-orang kaya dan orang-orang fakir, sehingga jiwa menjadi bersih, hati
menjadi baik, dada menjadi lapang, dan semua menikmati rasa aman, cinta dan
persaudaraan.
6.
.
Zakat menambah kebaikan orang yang menunaikannya, memelihara hartanya dari
segala penyakit, membuahkannya, mengembangkannya, dan menambahnya, menutupi
kebutuhan fakir miskin, menghalangi kriminalitas dalam bidang harta seperti
pencurian, perampasan, dan perampokan.
d. Hikmah
Haji
1.
Haji
merupakan ekspresi pelaksanaan persaudaraan Islam dan persatuan umat Islam. Di
mana sirna dalam ibadah haji segala perbedaan jenis, warna, bahasa, tanah air
dan tingkatan, dan nampak hakekat penghambaan dan persaudaraan. Semua dengan
satu pakaian, menghadap kepada satu qiblat dan menyembah satu Ilah (Tuhan).
2.
Haji
merupakan madrasah, padanya seorang muslim membiasakan diri untuk sabar, ingat
hari kiamat dan huru haranya, merasakan kelezatan menyembah Allah SWT, mengenal
keagungan Rabb-nya, dan fakirnya semua makhluk kepada-Nya.
3.
Haji
adalah musim besar untuk memperoleh pahala, dilipat gandakan kebaikan dan
ditebus segala kesalahan padanya, padanya hamba bersimpuh di hadapan Rabb-nya
dengan berikrar mentauhidkan-Nya, mengakui dosanya dan lemahnya ia dalam melaksanakan
hak Rabb-nya. Sehingga ia pulang dari haji dalam keadaan bersih dari dosa,
seperti hari ia dilahirkan ibunya.
4.
Ibadah
haji mengingatkan keadaan para nabi dan rasul 'alaihimusshalatu wassalaam dan ibadah, dakwah dan jihad serta
akhlak mereka, dan menanamkan jiwa berpisah keluarga dan anak.
5.
Haji
adalah timbangan, yang dengannya kaum msulimin mengenal keadaan dan kondisi
mereka dalam hal ilmu pengetahuan dan kebodohan, kaya dan fakir, istiqamah atau
penyimpangan.
2.4
Perkembangan
fiqh pembahasan tentang ibadah
Ikhtilaf (perbedaan) bisa dibedakan
menjadi dua. Pertama, ikhtilaful qulub (perbedaan dan perselisihan
hati) yang termasuk kategori tafarruq (perpecahan) dan oleh karenanya
ia tertolak dan tidak ditolerir. Dan ini mencakup serta meliputi semua jenis
perbedaan dan perselisihan yang terjadi antar ummat manusia, tanpa membedakan
tingkatan, topik masalah, faktor penyebab, unsur pelaku, dan lain-lain. Yang
jelas jika suatu perselisihan telah memasuki wilayah hati, sehingga memunculkan
rasa kebencian, permusuhan, sikap wala’-bara’, dan semacamnya, maka
berarti itu termasuk tafarruq (perpecahan) yang tertolak dan tidak
ditolerir.
Kedua, ikhtilaful
‘uqul wal afkar (perbedaan dan perselisihan dalam hal pemikiran dan
pemahaman), yang masih bisa dibagi lagi menjadi dua:
1.
Ikhtilaf dalam
masalah-masalah ushul (prinsip). Ini jelas termasuk kategori tafarruq
atau iftiraq(perpecahan) dan oleh karenanya ia tertolak dan tidak
ditolerir. Maka pembahasannya tidak termasuk dalam materi fiqhul ikhtilaf,
melainkan dalam materi aqidah, yang biasa saya sebut dan istilahkan dengan fiqhul
iftiraq (fiqih perpecahan). Dan perselisihan jenis inilah yang melahirkan
kelompok-kelompok sempalan dan menyimpang di dalam Islam yang biasa dikenal
dengan sebutan firaq daallah (firqah-firqah sesat) dan ahlul bida’
wal ahwaa’ (ahli bid’ah aqidah dan mengikut hawa nafsu), seperti Khawarij,
Rawafidh (Syi’ah), Qadariyah (Mu’tazilah dan Jabriyah), Jahmiyah, Murji-ah, dan
lain-lain.
2.
Ikhtilaf dalam
masalah-masalah furu’ (cabang, non prinsip). Inilah perbedaan dan
perselisihan yang secara umum termasuk kategori ikhtilafut tanawwu’
(perbedaan keragaman) yang diterima dan ditolerir, selama tidak berubah menjadi
perbedaan dan perselisihan hati. Dan ikhtilaf jenis inilah yang
menjadi bahasan utama dalam materi fiqhul ikhtilaf pada umumnya, dan
dalam tulisan ini pada khususnya.
Antara Ikhtilaf (Perbedaan) dan Tafarruq (Perpecahan)
Setiap tafarruq
(perpecahan) merupakan ikhtilaf (perbedaan), namun tidak setiap
ikhtilaf (perbedaan) merupakan tafarruq (perpecahan). Namun
setiap ikhtilaf bisa dan berpotensi untuk berubah menjadi tafarruq
atau iftiraq antara lain karena:
1.
Faktor pengaruh hawa nafsu, yang memunculkan misalnya ta’ashub
(fanatisme) yang tercela, sikap kultus individu atau tokoh, sikap mutlak-mutlakan
atau menang-menangan dalam berbeda pendapat, dan semacamnya. Dan
faktor pelibatan hawa nafsu inilah secara umum yang mengubah perbedaan wacana
dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah yang ditolerir menjadi
perselisihan hati yang tercela.
2.
Salah persepsi (salah mempersepsikan masalah, misalnya salah
mempersepsikan masalah furu’ sebagai masalah ushul). Dan ini
biasanya terjadi pada sebagian kalangan ummat Islam yang tidak mengakui dan
tidak memiliki fiqhul ikhtilaf. Yang mereka miliki hanyalah fiqhuttafarruq
wal iftiraq (fiqih perpecahan), dimana bagi mereka setiap perbedaan dan
perselisihan merupakan bentuk perpecahan yang tidak mereka tolerir, dan
karenanya senantiasa disikapi dengan sikap wala’ dan bara’
(?).
3.
Tidak menjaga moralitas, akhlaq, adab dan etika dalam
berbeda pendapat dan dalam menyikapi para pemilik atau pengikut madzhab dan
pendapat lain.
Hakekat Ikhtilaf dalam Masalah-masalah Furu’
1.
Ikhtilaf (perbedaan pendapat)
yang dimaksud adalah : perbedaan pendapat yang terjadi di antara para
imam mujtahid dan ulama mu’tabar (yang diakui) dalam
masalah-masalah furu’ yang merupakan hasil dan
sekaligus konsekuensi dari proses ijtihad yang mereka lakukan.
Sehingga perlu ditegaskan di sini bahwa, yang dimaksudkan dengan ikhtilaf yang
ditolerir itu bukanlah setiap fenomena perbedaan dan perselisihan atau
kontroversi dalam bidang agama yang secara riil terjadi di antara
kelompok-kelompok dan golongan-golongan ummat di masyarakat saat ini misalnya.
Karena faktanya, sudah banyak sekali bentuk dan materi perselisihan di
tengah-tengah masyarakat muslim saat ini, bahkan yang melibatkan sebagian
kalangan yang dikenal ’ulama’ sekalipun, yang sudah termasuk kategori masalah ushul
dan bukan masalah furu’ lagi.
2.
Fenomena perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’ (ijtihadiyah)
adalah fenomena yang normal, wajar dan alami, karena dua hal (minimal): 1)
Tabiat banyak teks dalil syar’i (baik sebagian teks ayat Al-Qur’an, maupun
khususnya teks Al-Hadits) yang memang dari sononya telah berpotensi
untuk diperdebatkan dan diperselisihkan. 2) Tabiat akal manusia yang beragam
daya pikirnya dan bertingkat-tingkat kemampuan pemahamannya. Maka hitungan
matematikanya adalah: Teks dalil yang multi interpretasi + Akal yang
berbeda-beda = Perbedaan dan perselisihan!
3.
Fenomena perbedaan pendapat dalam masalah-masalah
furu’(ijtihadiyah) adalah fenomena klasik yang sudah terjadi sejak
generasi salaf, dan merupakan realita yang diakui, diterima dan tidak mungkin
ditolak atau dihilangkan sampai kapanpun, karena memang sebab-sebab yang
melatarbelakanginya akan tetap selalu ada, dan bahkan semakin bertambah banyak
Sebab – Sebab Terjadinya Ikhtilaf
Dapat disimpulkan dan
dikelompokkan kedalam empat sebab utama:
1.
Perbedaan pendapat tentang valid - tidaknya suatu teks dalil
syar’i tertentu sebagai hujjah (tentu saja ini tertuju kepada teks hadits, yang
memang ada yang shahih dan ada yang dha’if, dan tidak tertuju kepada teks ayat
Al-Qur’an, karena seluruh ayat Al-Qur’an disepakati valid, shahih dan bahkan
mutawatir).
2.
Perbedaan pendapat dalam menginterpretasikan teks dalil
syar’i tertentu. Jadi meskipun suatu dalil telah disepakati keshahihannya,
namun potensi perbedaan dan perselisihan tetap saja terbuka lebar. Dan hal itu
disebabkan karena adanya perbedaan dan perselisihan para ulama dalam memahami,
menafsirkan dan menginterpretasikannya, juga dalam melakukan pemaduan atau
pentarjihan antara dalil tersebut dan dalil-dalil lain yang terkait.
3.
Perbedaan pendapat tentang beberapa kaidah ushul fiqh
dan beberapa dalil (sumber) hukum syar’i (dalam masalah-masalah yang tidak ada nash-nya)
yang memang diperselisihkan di antara para ulama, seperti qiyas, istihsan,
mashalih mursalah, ’urf, saddudz-dzara-i’, syar’u man qablana, dan
lain-lain.
4.
Perbedaan pendapat yang dilatar belakangi oleh perubahan
realita kehidupan, situasi, kondisi, tempat, masyarakat, dan semacamnya. Oleh
karenanya, di kalangan para ulama dikenal ungkapan bahwa, suatu fatwa tentang
hukum syar’i tertentu bisa saja berubah karena berubahnya faktor zaman, tempat
dan faktor manusia (masyarakat). Dan sebagai contoh misalnya, dalam beberapa
masalah di madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dikenal terdapat qaul
qadiim (pendapat lama, yakni saat beliau tinggal di Baghdad Iraq) dan qaul
jadiid (pendapat baru , yakni setelah beliau tinggal di Kairo Mesir).
Begitu pula dalam madzhab Imam Ahmad rahimahullah, dikenal banyak
sekali riwayat-riwayat yang berbeda-beda dari beliau tentang hukum
masalah-masalah tertentu.
Bagaimana Menyikapi Ikhtilaf ?
1.
Membekali diri dan mendasari sikap sebaik-baiknya dengan
ilmu, iman, amal dan akhlaq secara proporsional. Karena tanpa pemaduan itu
semua, akan sangat sulit sekali bagi seseorang untuk bisa menyikapi setiap
masalah dengan benar, tepat dan proporsional, apalagi jika itu masalah ikhtilaf
atau khilafiyah.
2.
Memfokuskan dan lebih memprioritaskan perhatian dan
kepedulian terhadap masalah-masalah besar ummat, daripada perhatian terhadap
masalah-masalah kecil seperti masalah-masalah khilafiyah misalnya. Karena tanpa
sikap dasar seperti itu, biasanya seseorang akan cenderung ghuluw
(berlebih-lebihan) dan tatharruf (ekstrem) dalam menyikapi setiap
masalah khilafiyah yang ada.
3.
Memahami ikhtilaf dengan benar, mengakui dan
menerimanya sebagai bagian dari rahmat Allah bagi ummat. Dan ini adalah salah
satu bagian dari ittibaa’us-salaf (mengikuti ulama salaf), karena
memang begitulah sikap mereka, yang kemudian diikuti dan dilanjutkan oleh para
ulama ahlus-sunnah wal-jama’ah sepanjang sejarah. Dan dalam konteks
ini mungkin perlu diingatkan bahwa, nash (teks) ungkapan yang selama
dikenal luas sebagai hadits, yakni yang berbunyi: Ikhtilafu ummati rahmatu
(perselisihan ummatku adalah rahmat), bukanlah shahih sebagai hadits Nabi shallallahu
’alaihi wasallam. Karenanya bukanlah ”hadits” tersebut yang menjadi dasar
sikap penerimaan ikhtilaf sebagai rahmat bagi ummat itu. Namun dasarnya adalah
warisan sikap dari para ulama salaf dan khalaf yang hampir sepakat dalam
masalah ini. Sampai-sampai ada ulama yang menulis kitab dengan judul: Rahmatul
Ummah Fi-khtilafil Aimmah (Rahmat bagi Ummat dalam perbedaan pendapat para
imam).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar