BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Aliran Jabariyah
2.1.1
Pengertian
Kata Jabariyah berasal dari kata jabara
yang berarti memaksa dan mengharuskannya
melaksanakan sesuatu atau secara harfiah dari lafadz al-jabr yang
berarti paksaan. Kalau dikatakan Allah mempunyai sifat Al-jabbar (dalam
bentuk mubalaghah), itu artinya Allah Maha Memaksa. Selanjutnya kata jabara setelah
ditarik menjadi jabariyah memiliki arti suatu kelompok atau aliran.
Lebih lanjut Asy- Syahratsan menegasakan bahwa paham Al jabr berarti
menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan
menyandarkannya kepada Allah.[1]
Dengan kata lain manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa.
Menurut Harun Nasution, jabariyah adalah
paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari
semula oleh Qada dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang
dikerjakan oleh manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan
oleh Tuhan dan dengan kehendaknya, disini manusia tidak mempunyai kebebasan
dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahkan bahwa
jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan tuhan sebagai dalangnya.[2]
Dalam bahasa inggris, jabbariyah disebut
fatalism atau predestination, yaitu faham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah
ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan.[3])
Secara teminologis, berarti menyandarkan perbuatan manusia kepada Allah SWT. Jabariyyah
menurut mutakallimin adalah sebutan untuk mahzab al kalam yang
menafikkan perbuatan manusia secara hakiki dan menisbatkan kepada Allah SWT
semata.[4])
2.1.2
Latar Belakang
Paham Al Jabr pertama kali
diperkenalkan oleh Ja’ad bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shafwan
dari Khurasan. Dalam sejarah teologi islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang
mendirikan aliran jahmiyyah dalam kalangan Murji’ah. Ia adalah
sekretaris Surai bin Al hariz dan selalu menemaninya dalam gerakan melawan
kekuasaan bani Umayyah. Namun dalam perkembangannya paham Jabariyyah juga
dikembangkan oleh tokoh lainnya diantaranya Al Husain bin Muhammad An-Najjar
dan Ja’ad bin Dirrar.[5]
Pendapat lain mengatakan bahwa paham ini
diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam
datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir
sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi
yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang
panas ternyata tidak dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan
suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon
yang kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.[6]
Dan dalam situasi demikian masyarakat Arab tidak melihat jalan untuk mengubah
keadaan di sekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka
merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak
bergantung terhadap alam, sehinggga menyebabkan mereka kepada paham fatalisme.[7]
Dalam Al Quran sendiri banyak terdapat
ayat-ayat yang menunjukkan tentang latar belakang lahirnya paham jabariyah,
diantaranya8:
- QS Ash-Shaffat :96
ª!$#ur
ö/ä3s)n=s{
$tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ
Artinya: “Padahal Allah-lah yang
menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".
- QS Al-Anfal :17
$tBur |MøtBu
øÎ)
|MøtBu ÆÅ3»s9ur
©!$#
4tGu 4
Artinya: “dan
bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.”
- QS Al-Insan :30
$tBur tbrâä!$t±n@
HwÎ)
br& uä!$t±o
ª!$#
4
¨bÎ)
©!$#
tb%x. $¸JÎ=tã $VJÅ3ym
ÇÌÉÈ
Artinya : “Dan
kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila
dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana.”
Selain ayat-ayat Al Quran diatas ,
benih-benih faham al-jabar juga dapat dilihat dalam beberapa peristiwa sejarah[8]
:
a.
Suatu ketika Nabi
menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir Tuhan, Nabi
melarang mereka memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari
kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat tuhan mengenai takdir.
b.
Khalifah Umar Bin
Khattab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika diintrogasi, pencuri itu
berkata “Tuhan telah menentukan aku telah mencuri”. Mendengar itu Umar kemudian
marah sekali dan menganggap orang itu
telah berdusta. Oleh karena itu Umar memberikan dua jenis hukuman kepada orang
itu, yaitu : hukuman potongan tangan karena mencuri dan hukuman dera karena
menggunakan dalil takdir Tuhan.
c.
Ketika Khalifah Ali bin
Abu-thalib ditanya tentang kadar Tuhan dalam kaitannya tentang siksa dan
pahala. Orang itu bertanya, “ apabila berjalan (menuju perang siffin) itu
terjadi dengan Qada dan Qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya.
Kemudian Ali menjelaskan bahwa Qada dan Qadar tuhan bukanlah sebuah paksaan.
Pahala dan siksa akan didapat berdasarkan atas amal perbuatan manusia. Kalau
itu sebuah paksaan, maka tidak ada pahala dan siksa, gugur pula janji dan
ancaman Allah dan tidak ada pujian bagi orang yang baik dan tidak ada celaan
bagi orang yang berbuat dosa.
d.
Adanya paham jabar
telah mengemukakan ke permukaan pada masa bani umayyah yang tumbuh berkembang
di Syria.
Disamping adanya bibit pengaruh faham
jabar yang telah muncul dari pemahaman terhadap ajaran Islam itu sendiri, ada
sebuah pandangan mengatakan bahwa aliran jabar muncul karena adanya pengaruh
dari pemikiran asing, yaitu pengaruh agama yahudi bermadzhab Qurra dan agama
Kristen bermadzhab Yacobit.
2.1.3
Macam-macam kelompok Aliran Jabariyyah dan Tokohnya
Menurut
Asy-Syahratsani, jabariyah dapat dikelompokan menjadi dua bagian kelompok ekstrim dan
moderat.
2.1.3.1 Jabariyah
Ekstrim
Jabariyah
murni atau ekstrim,yang dibawa oleh Jahm bin Shafwān paham fatalisme ini
beranggapan bahwa perbuatan-perbuatan diciptakan Tuhan di dalam diri manusia,
tanpa ada kaitan sedikit pun dengan manusia, tidak ada kekuasaan, kemauan dan
pilihan baginya. Manusia sama sekali tidak mampu untuk berbuat apa-apa, dan
tidak memiliki daya untuk berbuat. Manusia bagaikan selembar bulu yang
diterbangkan angin, mengikuti takdir yang membawanya. Manusia dipaksa, sama
dengan gerak yang diciptakan Tuhan dalam benda-benda mati. Oleh karena itu
manusia dikatakan “berbuat” bukan dalam arti sebenarnya, tetapi dalam arti
majāzī atau kiasan.
Seperti
halnya “perbuatan” yang berasal dari benda-benda mati. Misalnya dikatakan:
pohon berbuah, air mengalir,batu bergerak, matahari terbit dan terbenam, langit
mendung dan menurunkan hujan, bumi bergerak dan menghasilkan tumbuh-tumbuhan,
dan sebagainya. Selain itu, menurut mereka pahala dan dosa ditentukan
sebagaimana halnya dengan semua perbuatan. Jika demikian, maka taklif atau
pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab juga merupakan suatu paksaan. Kalau
seseorang mencuri atau minum khamr misalnya, maka perbuatannya itu bukanlah
terjadi atas kehendaknya sendiri, tetapi timbul karena qada dan qadar Tuhan
yang menghendaki demikian. Dengan kata lain bahwa ia mencuri dan meminum khamr
bukanlah atas kehendaknya tetapi Tuhanlah yang memaksanya untuk berbuat
demikian.
Di antara totoh-tokoh Jabariyah ekstrim/ murni ialah sebagai
berikut:
1. Jahm bin Shufwan
Pendapat Jahm yang berkaitan dengan
persoalan teologi adalah sebagai berikut:
a. Manusia tidak mampu untuk berbuaat
apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak
mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih terkenal
dibanding dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam
Tuhan, meniadakan sifat Tuhan(nafyu as-sifat), dan melihat Tuhan di akhirat.
b. Surga dan neraka tidak kekal. Tidak
ada yang kekal selain Tuhan.
c. Iman adalah ma’rifat atau
membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya sama dengan konsep iman yang
diajukan kaum Murji’ah.
d. Kalam Tuhan adalah makhluq. Allah
maha suci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia seperti berbicara,
mendengar dan melihat. Begitupula Tuhan tidak dapat dilihat dengan indera mata
di akhirat kelak.
Dengan demikian, beberapa pendapat
Jahm hampir sama dengan Murji’ah, Mu’tazilah, dan As-Ariah. Itulah sebabnya para
pengkritik dan sejarawan menyebutnya dengan Al-Mu’tazili, Al-Murji’i dan
Al-Asy’ari.
2. Ja’d bin dirham
Doktrin pokok Ja’d secara umum sama
dengan pikiran Jahm. Al-Ghuraby Menjelaskannya sebagai berikut :
a. Al-Quran itu adalah makhluk. Oleh karena
itu, dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatkan kepada Allah.
b. Allah tidak mempunyai sifat yang
serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat, dan mendengar.
c. Manusia terpaksa oleh Allah dalam
segala-galanya.
2.1.3.2
Jabariyah
moderat
Jabariyah moderat, yang dibawa oleh
al-Husain bin Muhammad al-Najjār. Dia mengatakan bahwa Allah berkehendak
artinya bahwa manusia tidak terpaksa atau dipaksa. Allah adalah pencipta dari
semua perbuatan manusia, yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah,
tetapi manusia mempunyai andil dalam perwujudan perbuatan-perbuatan itu. Tenaga
yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan
perbuatan-perbuatannnya. Dan inilah yang disebut dengan kasb (Orang yang mengaku
adanya pebuatan dari manusia namun perbuatan manusia tidak membatasi)[9].
Paham ini juga dibawakan oleh Dhirār bin ‘Amru. Ketika dia mengatakan bahwa
perbuatan-perbuatan manusia pada hakikatnya diciptakan oleh Allah, dan manusia
juga pada hakikatnya memiliki baagian untuk mewujudkan berbuatannya. Dengan
demikian, menurutnya bisa saja sebuah tindakan dilakukan oleh dua pelaku.
Paham moderat ini mengakui adanya
intervensi manusia dalam perbuatannya. Karena manusia telah memiliki bahagian
yang efektif dalam mewujudkan perbuatannya. Sehingga manusia tidak lagi seperti
wayang yang digerakkan dalang. Menurut paham ini, Tuhan dan manusia bekerja
sama dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan manusia.
Yang
termasuk tokoh Jabariyah Moderat adalah sebagai berikut:
1. An-Najjar
Di
antara pendapat-pendapatnya adalah:
a. Tuhan menciptakan segala perbuatan
manusia, tetapi manusia memiliki bagian atau peran dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab dalam teori Al-Asy’ari.
Dengan demikian, manusia dalam pandangan An-Najar tidak lagi seperti wayang
yang gerakannya tergantung pada dalang, sebab tenaga yang diciptakan Tuhan
dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
b. Tuhan tidak dapat dilihat di
akhirat. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa Tuhan dapat saja memindahkan
potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.
2. Adh-Ddirar
Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan An-Najjar,
yakni bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakan dalang. Manusia
mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa
dalam melakukan perbuatannya. Secara tegas, Dirrar mengatakan bahwa satu
perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan
manusia tidak hanya berperan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Mengenai ru’yat Tuhan di akhirat, Dirrar mengatakan bahwa
Tuhan dapat dilihat di akhirat melalui indera keenam. Ia juga berpendapat bahwa
hujjah yang dapat diterima setelah Nabi adalah ijtihad. Hadis ahad tidak dapat
dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.
2.2
Qadariyah
2.2.1
Pengertian
Qadariyah berasal
dari bahasa arab, yaitu qodara yang artinya kemampuan dan kekutan. Adapun
menurut pengertian terminologi
qodariyyah adalah suatu aliran
kepercayaan segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini
juga berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya
ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendak sendiri.
Berdasarkan pengertian tersebut, qodariyyah merupakan nama suatu aliran
yang memberikan suatu penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam
mewujudkan perbuatannya. Harun Nasution menegaskan bahwa kaum qodariyyah
berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qodrat atau kekuatan untuk
melaksanakan kehendaknya, akan tetapi bukan berarti manusia terpaksa tunduk
paada qodrat Tuhan.[10]
kata qadar dipergunakan untuk menamakan orang yang mengakui qadar digunakan
untuk kebaikan dan keburukan pada hakekatnya kepada Allah.
2.2.2
Latar Belakang
Latar belakang timbulnya qodariyah ini sebagai isyarat
kebijaksanaan politik
Bani Ummayah yang di anggapnya kejam. Tak dapat diketahui pasti kapan paham ini timbul dalam sejarah perkembangan
teologi Islam. Menurut Ahmad Amin, ada
ahli teologi yang mengatakan bahwa qodariyyah pertama dimunculkan oleh Ma’bad
Al Jauhani dan Ghoilan Ad-Dimasyqy. Ma’bad adalah seorang taba’i yang dapat
dipercaya dan pernah berguru kepada Hasan Al Basri. Tetapi ia memasuki lapangan politik dan
memihak ‘Abd al-Rahman ibn al-Asy’as, Gubernur Sajistan dalam menentang bani
Umayah. Dalam pertempuran dengan al- Hajjaj, ia mati terbunuh ditahun 80 H.
Adapun Ghoilan adalah berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi maula Usman bin
Affan.[11]
Ahmad Amin juga mengutip dalam kitab Syarh
Al Uyun. Informasinya yaitu yang pertama kali memunculkan paham qodariyyah
adalah orang Iraq yang semula beragama Kristen yang kemudian masuk Islam dan
kembali lagi masuk Kristen. Dari orang inilah Mabad dan Ghoilan mengambil paham
ini. Orang Iraq yang dimaksud sebagaimana dikatakan Muhammad ibn Syuaib yang
memperoleh informasi dari Al Auzai, adalah Susan.[12]
Sementara itu W. Montgomery Watt
menemukan dokumen lain melalui tulisan dalam bahasa Jerman yang dipublikasikan
melalui majalah Islam tahun 1933 menjelaskan bahwa qodariyyah terdapat dalam
kitab risalah dan ditulis untuk khalifah Abdul Malik oleh Hasan Al Basri
sekitar tahun 700 M, sedangkan Hasan Al Basri sendiri (642 – 728) merupakan
anak seorang tahanan di Iraq yang lahir di Madinah, akan tetapi pada tahun 657
pergi ke Basra dan tinggal disana sampai akhir hayatnya. Yang menjadi
perdebatan yaitu apakah Hasan Al Basri termasuk orang qodariyyah, namun yang
jelas berdasarkan catatannya yang terdapat dalam kitab risalah ia percaya bahwa
manusia dapat memilih secara bebas antara baik dan buruk. Namun menurut Watt,
Ma’bad Al Jauhani dan Ghailan Ad Dimasyqy adalah menganut qodariyyah yang hidup
setelah Hasan Al Basri.[13]
Ditinjau dari segi politik kehadiran
mazhab Qadariyah sebagai isyarat menentang politik Bani Umayyah, karena itu
kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan
pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap
tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran
Qadariyah itu tertampung dalam Muktazilah.
Faham Qadariyah diduga berasal dari
orang Irak bernama Susan yang beragama Kristen, kemudian memeluk agama Islam,
dan terdapat dua pendapat tentang penamaan aliran Qadariyah;
1. pendapat yang menyandarkan kepada
orang-orang yang berpendapat bahwa manusia adalah pencipta dan memiliki
kekuatan mutlak terhadap apa yang akan diperbuatnya, tanpa intervensi apapun
dari Tuhan.
2. Kedua, adalah orang-orang yang
berkeyakinan bahwa qudrah manusia bukan pada penciptaan perbuatan tetapi pada
pemilihan dan pelaksanaan perbuatan tersebut.
Pendapat lain, W. Montgomery Watt
menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa faham Qadariyah terdapat dalam
Kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri
sekitar tahun 700 M. Ketika terjadi perbedaan pendapat di kalangan ahli sejarah
tentang aliran Qadariyah atau Jabariyah yang lebih dulu hadir? Penulis makalah
berpendapat bahwa aliran Qadariyah lebih dahulu muncul, disebabkan 2 hal;
Pertama, dilihat dari tahun wafat pencetus faham ini yaitu Ma’bad
al-Juhani.Kedua, faham Jabary atau fat ali sm yang ada waktu dulu belum berbentuk
sebuah institusi alir kembali lagi ke Kristen. Dari Susan inilah Ma’bad dan
Ghailan mengambil faham tersebut.
Dengan disebutkannya Ma’bad al-Juhani pernah berguru dengan
Hasan al- Basri pada keterangan Adz-Dzahabi dalam kitab Mizan al-I’tidal, maka
sangat mungkin faham Qadar yang mula-mula dikenalkan oleh Hasan al-Basri dalam
bentuk kajian-kajian keIslaman, kemudian dicetuskan oleh Ma’bad al-Juhani dan
Ghailan ad-Dimasyqi dalam bentuk aliran (institusi).
Ada dua sebab utama yang dapat dikategorikan menjadi sebab
munculnya faham dan aliran Qadariyah yaitu :
1.
Masyarakat Arab yang cenderung fatalis, kehidupan yang serba sulit, faktor alam
yang tidak mendukung untuk lepas dari faham tersebut. Agama Islam yang dianut
oleh mereka justru menjadikan mereka bertambah dalam ke faham fatalis tersebut.
Allah SWT telah menentukan nasib manusia terlebih dahulu, dalam perbuatannya,
manusia hanya bertindak menurut nasib yang ditentukan sejak azali. Ada
Sunnatullah yang hadir dalam setiap detak dan detik denyut kehidupan semesta
ini, dan manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan.
2.
Secara politis, pemerintah yang berkuasa ketika itu, Bani Umayyah, menganut dan
menekankan fahamfatalis, serta menjadikannya legitimasi Susan adalah penganut
filsafat Nasrani Sekte Nestorian yang mendirikan sekolah filsafat di
Gundisapur, dan berdekatan dengan Basrah. Sekte Nestorian ini mengadopsi
filsafat Yunani aliran Epikureanisme (Abiquriyyun), dengan konsepnya.
Dikarenakan perbuatan-perbuatan kita adalah bebas, dan kepada merekalah
(perbuatan-perbuatan tersebut) dilekatkan pujian dan celaan.
Paham qodariyyah mendapat tantangan
keras dari umat Islam. Beberapa hal yang mendapat tantang keras
yaitu seperti[14] :
1.
Pendapat Harun Nasution
karena masyarakat Arab sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi oleh paham fatalis.
Kehidupan bangsa arab ketika itu serba sederhana dan jauh dari pengetahuan.
Mereka yang selalu menerima keadaan alam panas yang menyengat serta tanah dan
gunung yang gundul yang mengakibatkan merasa dirinya lemah dan tak mampu
menghadapi kesukaran hidup oleh alam sekelilingnya. Paham itu terus dianut
kendatipun mereka sudah beragama Islam, karena itu ketika qodariyyah
dikembangkan, mereka tidak dapat menerimanya karena bertentangan dengan doktrin
Islam.
2.
Tantangan dari
pemerintah karena pejabat pemerintah menganut paham jabariyyah ada kemungkinan
juga, pejabat pemerintah menganggap paham qodariyyah sebagai usaha menyebarkan
paham dinamis dan daya kritis rakyat yang pada akhirnya mampu mengkritik dan
bahkan dapat menggulingkan mereka dari tahta kerajaan.
3. Doktrin-Doktrin
Qodariyah
Dalam kitab Al-Milal wa An-Nihal,
pembahasan masalah Qadariyah disatukan dengan pembahasan tentang
doktrin-doktrin Mu’tazilah, sehingga perbedaan antara kedua aliran ini
kurang begitu jelas. Ahmad Amin juga menjelaskan bahwa doktrin qadar lebih luas
di kupas oleh kalangan Mu’tazilah sebab faham ini juga menjadikan salah satu
doktrin Mu’tazilah, akibatnya orang menamakan Qadariyah dengan Mu’tazilah
karena kedua aliran ini sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan
untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan Tuhan.[15]
Harun Nasution menjelaskan pendapat
Ghailan tentang doktrin Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas
perbuatan-perbuatannya. Manusia sendiri pula melakukan atau menjauhi perbuatan
atau kemampuan dan dayanya sendiri. Salah seorang pemuka Qadariyah yang lain ,
An-Nazzam , mengemukakan bahwa manusia hidup mempunyai daya dan ia berkuasa
atas segala perbuatannya.[16]
Doktrin Qodariyah pada dasarnya
menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendak sendiri.
Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas ke hendaknya
sendiri, baik perbuatan baik maupun jahat. Sesungguhnya tidak pantas, manusia
menerima siksaan atau tindakan salah yang di lakukan bukan atas keinginan dan
kemampuan.
Faham takdir dalam pandangan Qadariyah
bukanlah dalam pengertian takdir yang umum dipakai oleh bangsa Arab ketika itu,
yaitu faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih
dahulu. Dalam faham Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang
diciptakan-Nya bagi alam semesta seluruh isinya. Sejak azali, yaitu hukum yang
dalam istilah al-Qur’an adalah Sunatullah.
Dalam paham Qodariyah, takdir itu adalah
ketentuan Allah yang menciptakannya bagi alam semesta beserta seluruh isinya,
siksa Azali, yaitu hukum yang dalam istilah Al-Qur’an adalah sunnatullah.
Dengan pemahaman yang seperti ini, kaum Qodariyah berpendapat, bahwa tidak ada
alasan yang tepat untuk menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan
Tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunyai pijakan dalam dokrtin Islam sendiri.[17]
Banyak ayat Al-Qur’an yang dapat mendukung pendapat ini, misalnya dalam Surat
al Kahfi ayat 29 :
È@è%ur ,ysø9$#
`ÏB óOä3În/§ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur
uä!$x© öàÿõ3uù=sù 4 .....ÇËÒÈ
Artinya : “Dan Katakanlah:
"Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan
barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir"…”.
Menurut
Ghailan, manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, ia melakukan
perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik perbuatan itu adalah perbuatan baik
maupun perbuatan buruk. Dalam paham ini manusia merdeka dalam segala tingkah lakunya, berdasarkan
kemauan dan daya yang dimiliki. Dialah yang menentukan nasibnya, bukan Tuhan
yang menentukan, pandangan tersebut didasarkan pada beberapa
ayat al Qur’an, antara lain QS. Al Ra’d ayat 11
¼çms9 ×M»t7Ée)yèãB .`ÏiB Èû÷üt/ Ïm÷yt ô`ÏBur ¾ÏmÏÿù=yz ¼çmtRqÝàxÿøts ô`ÏB ÌøBr& «!$# 3 cÎ) ©!$# w çÉitóã $tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçÉitóã $tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3
!#sÎ)ur y#ur& ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqß xsù ¨ttB ¼çms9 4
$tBur Oßgs9 `ÏiB ¾ÏmÏRrß `ÏB @A#ur ÇÊÊÈ
Artinya:”bagi
manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan
di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak
merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri
mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum,
Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi
mereka selain Dia.”
2.3
Refleksi
Faham Qadariyah dan Jabariyah: Sebuah Perbandingan tentang Musibah
Dalam
paham Jabariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan bagai kapas
yang melayang di udara yang tidak memiliki sedikit pun daya untuk menentukan
gerakannya yang ditentukan dan digerakkan oleh arus angin. Sedang yang berpaham
Qadariyah akan menjawab, bahwa perbuatan manusia ditentukan dan dikerjakan oleh
manusia, bukan Allah. Dalam paham Qadariyah, berkaitan dengan perbuatannya,
manusia digambarkan sebagai berkuasa penuh untuk menentukan dan mengerjakan
perbuatannya.
Pada
perkembangan selanjutnya, paham Jabariyah disebut juga sebagai paham
tradisional dan konservatif dalam Islam dan paham Qadariyah disebut juga
sebagai paham rasional dan liberal dalam Islam. Kedua paham teologi Islam
tersebut melandaskan diri di atas dalil-dalil naqli (agama) - sesuai pemahaman
masing-masing atas nash-nash agama (Alquran dan hadits-hadits Nabi Muhammad) -
dan aqli (argumen pikiran). Di negeri-negeri kaum Muslimin, seperti di
Indonesia, yang dominan adalah paham Jabariyah. Orang Muslim yang berpaham
Qadariyah merupakan kalangan yang terbatas atau hanya sedikit dari mereka.
Kedua paham itu
dapat dicermati pada suatu peristiwa yang menimpa dan berkaitan dengan
perbuatan manusia, misalnya, kecelakaan pesawat terbang. Bagi yang berpaham
Jabariyah biasanya dengan enteng mengatakan bahwa kecelakaan itu sudah kehendak
dan perbuatan Allah. Sedang, yang berpaham Qadariyah condong mencari tahu di
mana letak peranan manusia pada kecelakaan itu. Kedua paham teologi Islam
tersebut membawa efek masing-masing. Pada paham Jabariyah semangat melakukan
investigasi sangat kecil, karena semua peristiwa dipandang sudah kehendak dan
dilakukan oleh Allah. Sedang, pada paham Qadariyah, semangat investigasi amat
besar, karena semua peristiwa yang berkaitan dengan peranan (perbuatan) manusia
harus dipertanggungjawabkan oleh manusia melalui suatu investigasi.
Dengan demikian,
dalam paham Qadariyah, selain manusia dinyatakan sebagai makhluk yang merdeka,
juga adalah makhluk yang harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Posisi
manusia demikian tidak terdapat di dalam paham Jabariyah. Akibat dari perbedaan
sikap dan posisi itu, ilmu pengetahuan lebih pasti berkembang di dalam paham
Qadariyah ketimbang Jabariyah.
Dalam hal
musibah gempa dan tsunami baru-baru ini, karena menyikapinya sebagai kehendak
dan perbuatan Allah, bagi yang berpaham Jabariyah, sudah cukup bila tindakan
membantu korban dan memetik "hikmat" sudah dilakukan. Sedang hikmat
yang dimaksud hanya berupa pengakuan dosa-dosa dan hidup selanjutnya tanpa
mengulangi dosa-dosa. Sedang bagi yang berpaham Qadariyah, meski gempa dan
tsunami tidak secara langsung menunjuk perbuatan manusia, namun mengajukan
pertanyaan yang harus dijawab: “Adakah andil manusia di dalam
"mengganggu" ekosistem kehidupan yang menyebabkan alam
"marah" dalam bentuk gempa dan tsunami?” Untuk itu, paham Qadariyah
membenarkan suatu investigasi (pencaritahuan), misalnya, dengan memotret lewat
satelit kawasan yang dilanda musibah.
[1] Asy-Syahrastani, Al-Milal
wa Al-Nihal, diterjemahkan oleh Asywadie Syukur (Surabaya : Bina Ilmu,
2006), h. 71.
[2] Harun Nasution, Teologi Islam :
Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Cet. 5 ; Jakarta : UI-Press,
1986), h.
31.
[4]
Muhammad Maghfur, Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam (
Bangil: Al-Izzah, 2002), h.41.
[5]
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Cet. II; Bandung: Pustaka
Setia, 2006), h.64.
[7] Harun
Nasution, Teologi Islam : Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Cet.
5 ; Jakarta : UI-Press, 1986), h. 33-34.
[9] Asy-Syahrastani,
Al-Milal wa Al-Nihal, diterjemahkan oleh Asywadie Syukur (Surabaya :
Bina Ilmu, 2006).
[10]
Asy-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, diterjemahkan oleh Asywadie
Syukur (Surabaya : Bina Ilmu, 2006).h.37-38.
[11]
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Cet. II; Bandung: Pustaka
Setia, 2006), h.71.
[15] Asy-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal,
diterjemahkan oleh Asywadie Syukur (Surabaya : Bina Ilmu, 2006).h.37.
[16] Harun
Nasution, Teologi Islam : Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Cet.
5 ; Jakarta : UI-Press, 1986), h.
35.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar