BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Kata Syi’ah
berarti “pengikut” atau “penolong” dan kata musyaaya’ah
sepadan dengan kata musaasharah. Istilah
ini dipungut dari peristiwa masa lalu yaitu khalifah ketiga, Ustman bin Affan
terbunuh, yang mengakibatkan kaum muslimin terbagi menjadi dua golongan.
Sebagai besar menjadi syi’ah (pengikut) Ali dan sebagian kecil menjadi syi’ah
muawiyah.
Seiring dengn
berjalannya waktu dan perkembangan zaman istilah syi’ah lebih lebih dinisbatkan
kepada kelompok pengikut Ali bin Abi thalib, dan pemihakan kepada Ali berubah
menjadi berubah menjadi pengutamaan Ali dan para cucunya. Sehingga lambat laun
tumbuh keyakinan bahwa khalifah dan kepemimpinan ummat adalah hak mutlak bagi
Ali dan keturunannnya.
Sejarah Islam
mencatat bahwa hingga saat ini terdapat dua macam aliran besar dalam Islam.
Keduanya adalah Ahlussunnah (Sunni) dan Syi’ah. Tak dapat dipungkiri pula,
bahwa dua aliran besar teologi ini kerap kali terlibat konflik kekerasan satu
sama lain, sebagaimana yang kini bisa kita saksikan di negara-negara seperti
Irak dan Lebanon. Terlepas dari hubungan antara keduanya yang kerap kali tidak
harmonis, Syi’ah sebagai sebuah mazhab teologi menarik untuk dibahas. Diskursus
mengenai Syi’ah telah banyak dituangkan dalam berbagai kesempatan dan sarana.
Tak terkecuali dalam makalah kali ini. Dalam makalah ini kami akan membahas
pengertian, sejarah, tokoh, ajaran, dan sekte Syi’ah. Semoga karya sederhana
ini dapat memberikan gambaran yang utuh, obyektif, dan valid mengenai
Syi’ah, yang pada gilirannya dapat memperkaya wawasan kita sebagai seorang
Muslim.
Dengan
penjelasan diatas penulis bermaksud untuk membuat makalah ini dengan tujuan
untuk lebih memahami kan adanya aliran syia’ah dengan pola pikir yang di
gunakan sebagai landasan pemikiran golonga
syi’ah baik secara klasik maupun secar modern. Semoga dengan mengkaji
teologi tentang golongan syi’ah ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi
penulis dan bagi semua pembaca.
1.2 Rumusan
Masalah
Rumusan masalah
yang diambil dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa
pengertian dari Syi’ah?
2. Bagaimana
sejarah timbulnya golongan syi’ah?
3. Siapa
tokoh-tokoh dalam golongan syi’ah?
4. Apa
saja kelompok-kelompok utama syi’ah?
5. Bagaimana
ajaran-ajaran syi’ah?
1.3 Tujuan
Tujuan dalam
pembuatan makalah tentang syia’ah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui pengetian syi’ah.
2. Untuk
mengetahui sejarah timbulnya aliran syi’ah.
3. Untuk
mengetahui tokoh-tokoh dalam aliran Syiah.
4. Untuk
mengetahui kelompok-kelompok utama syi’ah.
5. Untuk
mengetahui bentuk ajaran-ajaran pada golongan syi’ah.
1.4 Manfaat
Manfaat yang
dapat diambil dari pembuatan makalah ini adalah khususnya bagi para penulis dan
umumnya bagi pembaca dapat mengetahui ajaran-ajaran yang dibawa oleh syi’ah. Selain
itu juga memahami bagaimana pola pikir yang dibawa oleh ajaran syi’ah, apakah
sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran dalam Al Qur’an dan sunnah.
1.5 Batasan Masalah
Agar tidak
menimbulkan kerancuan dalam memahami topik pembahasan dalam makalah ini, maka
penulis hanya membatasi ruang lingkup pembahasan pada aliran dan ajaran yang
dibawa oleh para pengikut syi’ah.
1.6 Jenis
Metode Penelitian
Jenis metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library
Research). Metode penelitian kepustakaan (Library Research) merupakan metode
yang dilakukan dengan mengumpulkan data-data dan informasi dengan bantuan
bermacam-macam material yang terdapat di ruang perpustakaan seperti, buku-buku,
majalah, catatan dan kisah-kisah sejarah yang terkait masalah yang dibahas
dalam makalah ini.
Data yang dikumpulkan dalam makalah
penelitian ini adalah data kualitatif yang dikumpulkan secara manual oleh
penulis. Analisa data (materi) yang telah diperoleh pada metode ini yaitu
dengan pendekatan Naratif. Pendekatan Naratif adalah penganalisaan data yang
saling bersambungan atau berurutan, yang dimulai dari pengertian syi’ah,
sejarah perkembangan syi’ah, tokoh-tokoh dalam aliram syi’ah, kelompok-kelompok
syi’ah dan ajaran-ajaran yang dibawa oleh syi’ah.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Syi’ah
stilah Syi'ah
berasal dari kata Bahasa Arab Syī`ah. Bentuk tunggal dari kata ini
adalah Syī`ī ."Syi'ah" adalah bentuk pendek dari kalimat
bersejarah Syi`ah `Ali artinya "pengikut Ali", yang berkenaan
tentang Q.S. Al-Bayyinah ayat khoirulbariyyah,
saat turunnya ayat itu Nabi SAW bersabda: "Wahai Ali kamu dan pengikutmu
adalah orang-orang yang beruntung" (ya Ali anta wa syi'atuka
humulfaaizun).
Syi'ah menurut
etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga
bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara. Adapun menurut
terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib sangat utama di antara para sahabat
dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian
pula anak cucu sepeninggal beliau. Syi'ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa
pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, Syi'ah mengalami perpecahan
sebagaimana Sunni
juga mengalami perpecahan mazhab.
Syi’ah menurut
bahasa adalah pendukung atau pembela. Syi’ah Ali adalah pendukung
atau pembela Ali. Syi’ah Mu’awiyah adalah pendukung Mu’awiyah. Pada zaman Abu
Bakar, Umar dan Utsman kata Syi’ah dalam arti nama kelompok orang Islam belum
dikenal. Kalau pada waktu pemilihan kholifah ke-tiga ada yang mendukung Ali,
tetapi setelah ummat Islam memutuskan memilih Utsman bin Affan, maka
orang-orang yang tadinya mendukung Ali, akhirnya berbai’at kepada Utsman
termasuk Ali. Jadi, belum terbentuk secara faktual kelompok ummat Islam bernama
Syi’ah.
Syiah artinya
pendukung, maksudnya pendukung Ali bin Abi Thalib. Pada akhir masa pemerintahan
Khalifah Usman bin Affan, seorang Yahudi yang bernama Abdullah bin Saba
menyatakan diri masuk Islam. Sewaktu masih menganut agama Yahudi ia pernah
mengatakan bahwa Yusya’ bin Nun adalah seorang yang diberi wasiat oleh Nabi
Musa untuk melanjutkan memimpin Bani Israil. Setelah masuk Islam, dia
menghembuskan doktrin bahwa Ali telah menerima wasiat dari Nabi Muhammad
sebagai khalifah sepeninggal beliau. Lebih dari itu Abdullah bin Saba mengajarkan
bahwa pada diri Ali itu mengandung unsur ketuhanan.
Menurut golongan
Ahlu Sunnah Wal Jamaah kaum Syi’ah adalah kaum ar-Rifadhah, yaitu orang-orang
yang menolak dan dinamakan demikian karena mereka menolak keimanan Abu Bakar
dan Umar serta mereka sepakat bahwa Nabi Muhammad SAW telah menentukan Ali
sebagai penggantinya dengan menyebut namanya dan mengumumkannya
terang-terangan. Mereka juga berpendapat bahwa banyak sahabat Nabi SAW telah
sesat, karena mereka meninggalkan ajaran dan amalan yang diperintahkannya
setelah Rosulullah wafat.
Kaum muslimin
masih berbeda pendapat dalam menilai golongan syi’ah. Diantara mereka ada yang
berpendapat bahwa syiah adalah kelompok pemahaman aqidah aqidah saja, sedangkan
sebagian yang lain, berpendapat bahwa syi’ah adalah paham politik, bahkan
sebagian lain lagi berpendapat bahwa bahwa syi’ah tidak lebih dari perwujudan
dari rasa simpati terhadap Ali bin Abi thalib.
2.2 Sejarah dan
perkembangan Syi’ah
Syi’ah pada
awalnya bukan merupakan mazdhab atau paaham dalam agama, namun salh satu
pandangan politik yang beranggapan bahwa Ali bin abi thalib adalah seorang yang
lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan dibandimgkan dengan Mu’awiyah
bin Abi sufyan.
Maka ketika
terjadi pertikaian dan peperangan antara Ali dan Mu’awiyah, barulah kata Syi’ah
muncul sebagai nama kelompok ummat Islam. Tetapi bukan hanya pendukung Ali yang
disebut Syi’ah Ali dan Syi’ah Mu’awiyah. Hal itu tercantum dalam naskah
perjanjian melaksanakan TAHKIM, di mana disitu diterangkan: bahwa apabila orang
yang ditentukan dalam pelaksanaan tahkim itu berhakangan, maka diisi dengan
orang dari Syi’ah masing-masing.
Pada masa
kepemimpinan Ali bin Abi Thalib umat islam benar-benar berada tengah dilanda
ketidakpastian. Mereka yang cenderung berpihak pada Ali bin Abi Thalib berkeyakinan
bahwa mu’awiyah tidaklah bersungguh-sungguh marah menuntut kematian ustman.
Kematian Ustman sengajaa dingkat sebagai isu politik untuk mengobarkan
ketidakpuasan umat, sehingga tercipta kesenjangan antara Ali bin Abi Thalib dengan
khalifah, sehingga beralih ketangannya. Dan agaknya nasib mujur berada pada
pihak mu’awiyah sehingga. Ia berhaasil memenuhi ambisinya ia mampu menggunakan
tragedy berdarah yang menimpa Ustman sebagai tunggangan politik menuju
kepemimpinan. Kekalahan yang diderita oleh Mu’awiyah dalam perang shiffin
sempat menghambat langkah mu’awiyah, namun kekalahan itu dapat ditebusnya
dengan tipu muslihat yang terjadi dalam perundingan. Diatas semua itu,
terbunuhnya Ali menjadi penentunya impian Mu’awiyah dalam meraih tahta. Dapat
dikatakan bahwa kalau saja Ali tidak terbunuh, niscaya Mu’awiyah tidak akan
mampu mencapai kepemimpinan umat dan tidak pula satu orang pun keluarga Umawi
yang akan akan memegang kendali kepemimpinan umat islam.
Peristiwa-peristiwa
diatas menjelaskan kenyataan bahwa kemenangan menggulingkan khalifah Ali adalah
kemenangan politik, bukan kemenangan mazhab agama. Kenyataan yang kedua adalah
bahwa pada pandangan umat, Ali berhak atas kekhalifahan karena keutamaannya,
ilmunya, kebijaksanaannya, serta karena ia tergolong orang yang pertama kali
memeluk islam diantara mereka. Para pendukung dan pembela Ali, sepeninggalnya,
menyatakan dukungan dan pembelaannya kepada Ali.
Para penulis
sejarah Islam berbeda pendapat mengenai awal mula lahirnya Syi’ah. Sebagian
menganggap Syi’ah lahir langsung setelah wafatnya Nabi Muhammad saw, yaitu pada
saat perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirin dan Anshar di Balai
Pertemuan Saqifah Bani Sa’idah. Pada saat itu muncul suara dari Bani Hasyim dan
sejumlah kecil Muhajirin yang menuntut kekhalifahan bagi ‘Ali bin Abi Thalib.
Sebagian yang lain menganggap Syi’ah lahir pada masa akhir kekhalifahan ‘Utsman
bin ‘Affan atau pada masa awal kepemimpinan ‘Ali bin Abi Thalib.
Pendapat yang
paling populer adalah bahwa Syi’ah lahir setelah gagalnya perundingan antara
pihak pasukan Khalifah ‘Ali dengan pihak pemberontak Mu’awiyah bin Abu Sufyan
di Shiffin, yang lazim disebut sebagai peristiwa tahkîm atau
arbitrasi. Akibat kegagalan itu, sejumlah pasukan ‘Ali memberontak terhadap
kepemimpinannya dan keluar dari pasukan ‘Ali. Mereka ini disebut golongan
Khawarij. Sebagian besar orang yang tetap setia terhadap khalifah disebut Syî’atu
‘Alî (pengikut ‘Ali).
Pendirian
kalangan Syi’ah bahwa ‘Ali bin Abi Thalib adalah imam atau khalifah yang
seharusnya berkuasa setelah wafatnya Nabi Muhammad telah tumbuh sejak Nabi
Muhammad masih hidup, dalam arti bahwa Nabi Muhammad sendirilah yang
menetapkannya. Dengan demikian, menurut Syi’ah, inti dari ajaran Syi’ah itu
sendiri telah ada sejak zaman Nabi Muhammad saw.
Namun demikian,
terlepas dari semua pendapat tersebut, yang jelas adalah bahwa Syi’ah baru
muncul ke permukaan setelah dalam kemelut antara pasukan Mu’awiyah terjadi pula
kemelut antara sesama pasukan ‘Ali. Di antara pasukan ‘Ali pun terjadi
pertentangan antara yang tetap setia dan yang membangkang.
2.3 Tokoh-tokoh
dalam golongan Syi’ah
Dalam pertimbangan Syi’ah, selain terdapat tokoh-tokoh
populer seperti ‘Ali bin Abi Thalib, Hasan bin ‘Ali, Husain bin ‘Ali, terdapat
pula dua tokoh Ahlulbait yang mempunyai pengaruh dan andil yang besar dalam
pengembangan paham Syi’ah, yaitu Zaid bin ‘Ali bin Husain Zainal ‘Abidin dan
Ja’far al-Shadiq. Kedua tokoh ini dikenal sebagai orang-orang besar pada
zamannya. Pemikiran Ja’far al-Shadiq bahkan dianggap sebagai cikal bakal ilmu
fiqh dan ushul fiqh, karena keempat tokoh utama fiqh Islam, yaitu Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, secara langsung
atau tidak langsung pernah menimba ilmu darinya. Oleh karena itu, tidak heran
bila kemudian Syaikh Mahmud Syaltut, mantan Rektor Universitas al-Azhar, Mesir,
mengeluarkan fatwa yang kontroversial di kalangan pengikut Sunnah (Ahlussunnah—pen.).
Mahmud Syaltut memfatwakan bolehnya setiap orang menganut fiqh Zaidi atau fiqh
Ja’fari Itsna ‘Asyariyah.
Adapun Zaid bin ‘Ali bin Husain Zainal ‘Abidin terkenal ahli
di bidang tafsir dan fiqh. Pada usia yang relatif muda, Zaid bin ‘Ali telah
dikenal sebagai salah seorang tokoh Ahlulbait yang menonjol. Salah satu karya
yang ia hasilkan adalah kitab al-Majmû’ (Himpunan/Kumpulan) dalam bidang
fiqh. Juga karya lainnya mengenai tafsir, fiqh, imamah, dan haji.
Selain dua tokoh di atas, terdapat pula beberapa tokoh
Syi’ah, di antaranya:
1) Nashr bin Muhazim
2) Ahmad bin Muhammad bin ‘Isa
al-Asy’ari
3) Ahmad bin Abi ‘Abdillah al-Barqi
4) Ibrahim bin Hilal al-Tsaqafi
5) Muhammad bin Hasan bin Furukh
al-Shaffar
6) Muhammad bin Mas’ud al-‘Ayasyi
al-Samarqandi
7) Ali bin Babawaeh al-Qomi
8) Syaikhul Masyayikh, Muhammad al-Kulaini
9) Ibn ‘Aqil al-‘Ummani
10) Muhammad bin Hamam al-Iskafi
11) Muhammad bin ‘Umar al-Kasyi
12) Ibn Qawlawaeh al-Qomi
13) Ayatullah Ruhullah Khomeini
14) Al-‘Allamah Sayyid Muhammad Husain
al-Thabathaba’i
15) Sayyid Husseyn Fadhlullah
16) Murtadha Muthahhari
17) ‘Ali Syari’ati
18) Jalaluddin Rakhmat
19) Hasan Abu Ammar
2.4 Kelompok-kelompok
besar Syi’ah
Dalam tubuh
Syi’ah terdapat beraneka ragam kelompok yang tentunya dengan bermacam-macam
pula tujuannya, cara dan aqidahnya. Diantara kelompok-kelomppok itu ada yang
berlebihan dan ada yang wajar, dan ada pula yang jelas-jelas menyimpang keluar
dari rel kebenaran. Diantara sekian banyak tubuh syi’ah ada yang dikenal dengan
Sabbaiyah yang dipimpin oleh seorang yahudi bernama Abdullah bin Saba’.
Kelompok yang lain lagi adalah Tawabun, Al kisaniyyah, dan Al Mughiriyyah yang
bernisbat kepada Mughirah bin Said Al Bajali.
Kelompok utama
Syi’ah ini memiliki karakteristik ajaran dan panadangan syi’ah yang berbeda
antara lain adalah sebagai berikut:
1. Sabaiyyah
Inilah firqah yang pertama kali
menuhankan Ali bin Abi Thalib. Firqah ini dipimpin oleh Abdullah bin Saba’,
seorang yahudi yang menyebarkan ajaran sesat dikalangan umat dengan tujuan
mengotori kemurnian ajaran islam. Dengan gigih ia berkeliling wilayah islam
menyebarkan ajaran sesatnya, sebagian penduduk ada yang menerima sebagian lain
ada yang menolak dan mengusirnya.
Salah satu ajaran yang menonjol adalah
ajarannya tentang adanya wasiat dan reinkarnasi. Wasiat yang dimaksud disini
adalah wasiat kepemimpinan yaitu bahwa Ali bin Abi Thalib adalaah wasiat
rasulullah, Hasan wasiat Ali, Husain wasiat Hasan dan seterusnya. Sedangkan
yang dimaksud dengan reinkarnasi adalah bahwa Muhammad akan bangkit kembali dan
begitu jug dengan Ali bin Abi Thalib. Hassutan Abdullah tentang ajaran diatas
tidak hanya berhenti disitu, bahkan diamelakukan berbagai reka daya untuk
mengotori akidah dan ajaran islam yaitu dengan cara menuhankan Ali bin Abi
Thalib bahkan menuhankan anak dan keturunan Ali.
2. Tawabun
Ketika Hasan meninggal dunia maka wasiat
kepemimpinan berpindah pada tangan Husein. Banyak penduduk irak yang bergabung
dan mendukungnya. Namun tidak begitu lama kemudian terjadilah krisis yang
menjadikan terbunuhnya Husein dikarbalah dengan keadaan yang sangat
menyedihkan. Peristiwa tragis itu membangkitkan kebencian dalam hati kaum
muslimin terhadap siapa saja yang merendahkan dan menganiaya keluarga keturunan
Rasulullah Saw. Pada masa itulah “Tasyayyu’”
kepada keluarga keturunan Nabi meluas dan berakar dalam hati banyak umat islam.
Muncullah di Basrah kelompok jamaah dengan menamakan diri “Tawwabun” yang dipimpin oleh Sulaiman bin Shurd Al Khuza’I seorang
sahabat Nabi yang mulia.
Kelompok Tawwabun ini bukanlah kelompok
yang terbentuk karena aqidah dan syariat
yang tersendiri. Kelompok ini hanya bernotif rasa simpati dan ungkapan
penyesalan karena mereka merasa bersalah dan bertanggung jawab atas kematian
Husain. Penyeru yang paling giat dalam kelompok ini adalah Ubaidillah bin
Abdullah Al Marasi. Dia menyebarkan kebobrokan akhlak pembunuhan Husain
ditengah masyarakat luas, dan menggambarkan pembunuhan itu sebagai suatu
tindakan yang keji.
3. Al
kisaniyyah
Kisanniyyah diambil dari nama Kisan,
bekas budak yang dimerdekkan Ali bin Abi Thalib. Kisan inilah yang menunjukkan
pembunuhan Husain kepada Mukhtar bin Abi Ubaid
Ats Tsaqafi yang segera melakukan balas dendam dengan melakukan
pembantaian masal. Sedangkan menurut kelompok yang lain , nama Kisanniyyah
sebenarnya dinisbatkan kepada Mukhtar bin Abi Ubaid, yang sebelumnya bernama
Kisan. Mukhtar inilah tonggak penyangga kelompok yang menyeru kepada imamah
Muhammad bin Hanafiyyah.
Kelompok ini berpendapat bahwa
kepemimpinan merupakan hak Muhammad bin Ali bin Abi Thalib yang lebih dikenal
dengan Muhammad bin Hanafiyyah, dinisbatkan kepada ibunya, khaulah, dari Bani
Hanifah. Mereka berpendapat demikian karena dialah yang membawa bendera dalam
pertempuran jamal. Sebagian lagi dari mereka yang berpendapat bahwa Muhammad
bin Hanafiyyahlah orang yang paling berhak mendapatkan hak khalifah sesudah
ayahnya.
4. Al
Mughiriyyah
Adalagi kelompok lain dari syi’ah yang
memiliki pemahaman sesat dan menisbatkan diri mereka dengan bertasyyu’ kepada
Hasan bin Ali. Firqah ini merupakan firqah yang paling terkenal penyimpangannya
dari agama islam. Nama firqah ini adalah Mughiriyyah. Firqah ini merupakan
cabang dari firqah Muhammadiyahyang mempunyai ajaran menunggu kedatangan Nabi
Muhammad bin Abdullah bin Hasan bin Hasan bin Ali, yang lebih dikenal dengan
Muhammad berjiwa suci (Annafsu Azzakiyyah).
Tokoh firqah Al Mughiriyyah adalah
Mughirah bin Sa’id Al Bajali yang merupakan bekas budak yang dimerdekakan oleh
Khalid bin Abdullah Al Qasiri. Sepeninggalan Muhammad An nafsu Zakiyyah,
Mughirah mengangkat dirinya sebagai imam, bahkan ia menganggap dirinya sebagai
Nabi. Tidak hanya itu ia pun menghalalkan yang haram dan menuhankan Ali bin Abi
Thalib dan menambah ajaran baru yaitu “tasyibih”
(menyerupakan khaliq dengan mahluknya). Ia mengatakan bahwa Allah mempunyai
anggota badan sebagaiman huruf hijaiyyah. Sosoknya persis seperti seorang
laki-laki berupa cahaya.
Kesesatan dan khufarat sebenarnya tidak
hanya berkembang pada kalangan Mughiriyyah saja, firqa-firqah lain pada tubuh
syi’ah pun memiliki keyakinan yang tidak kalah kejinya. Ajaran sesat ini
kemungkina bersumber pada dua hal, pertama karena pengkultusan dan kecintaan
yang berlebihan terhadap Ahlubait, dan kedua karena kebencian yang teramat
besar pada ajaran islam. Dengan dibantu orang-orang yang dungu, mereka ingin
mengotori ajaran-ajaran agama islam, merusak citranya, serta mengalihkannya
kearah sesat. Untuk menunjang rencana tersebut, mereka membentuk suatu firqah
guna menampung pengikut yang lebih banyak. Dengan demikian mereka kan lebih
mudah menabur racun keraguan kedalam hati pengikutnya. Maka ynag terjadi adalah
seperti yang dapat kita lihat dikalangan umat islam sekarang ini, yaitu
menyebabkan fitnah yang amat sangat dasyat.
2.5 Ajaran-ajaran
Syi’ah
Ajaran-ajaran yang dibawa oleh
golongan Syi’ah terdapat 11 ajaran antara lain adalah sebagai berikut:
1.
Ahlulbait
Secara
harfiah ahlulbait berarti keluarga atau kerabat dekat. Dalam sejarah
Islam, istilah itu secara khusus dimaksudkan kepada keluarga atau kerabat Nabi
Muhammad saw. Ada tiga bentuk pengertian Ahlulbait. Pertama, mencakup
istri-istri Nabi Muhammad saw dan seluruh Bani Hasyim. Kedua, hanya Bani
Hasyim. Ketiga, terbatas hanya pada Nabi sendiri, ‘Ali, Fathimah, Hasan,
Husain, dan imam-imam dari keturunan ‘Ali bin Abi Thalib. Dalam Syi’ah bentuk
terakhirlah yang lebih popular.
2.
Al-Badâ’
Dari
segi bahasa, badâ’ berarti tampak. Doktrin al-badâ’ adalah
keyakinan bahwa Allah swt mampu mengubah suatu peraturan atau keputusan yang
telah ditetapkan-Nya dengan peraturan atau keputusan baru. Menurut Syi’ah,
perubahan keputusan Allah itu bukan karena Allah baru mengetahui suatu
maslahat, yang sebelumnya tidak diketahui oleh-Nya (seperti yang sering
dianggap oleh berbagai pihak). Dalam Syi’ah keyakinan semacam ini termasuk kufur.
Imam Ja’far al-Shadiq menyatakan, “Barangsiapa yang mengatakan Allah swt
baru mengetahui sesuatu yang tidak diketahui-Nya, dan karenanya Ia menyesal,
maka orang itu bagi kami telah kafir kepada Allah swt.” Menurut Syi’ah,
perubahan itu karena adanya maslahat tertentu yang menyebabkan Allah swt
memutuskan suatu perkara sesuai dengan situasi dan kondisi pada zamannya.
Misalnya, keputusan Allah mengganti Isma’il as dengan domba, padahal sebelumnya
Ia memerintahkan Nabi Ibrahim as untuk menyembelih Isma’il as
3.
Asyura
Asyura
berasal dari kata ‘asyarah, yang berarti sepuluh. Maksudnya adalah hari
kesepuluh dalam bulan Muharram yang diperingati kaum Syi’ah sebagai hari
berkabung umum untuk memperingati wafatnya Imam Husain bin ‘Ali dan keluarganya
di tangan pasukan Yazid bin Mu’awiyah bin Abu Sufyan pada tahun 61 H di
Karbala, Irak. Pada upacara peringatan asyura tersebut, selain mengenang
perjuangan Husain bin ‘Ali dalam menegakkan kebenaran, orang-orang Syi’ah juga
membaca salawat bagi Nabi saw dan keluarganya, mengutuk pelaku pembunuhan
terhadap Husain dan keluarganya, serta memperagakan berbagai aksi (seperti
memukul-mukul dada dan mengusung-usung peti mayat) sebagai lambang kesedihan
terhadap wafatnya Husain bin ‘Ali. Di Indonesia, upacara asyura juga
dilakukan di berbagai daerah seperti di Bengkulu dan Padang Pariaman, Sumatera
Barat, dalam bentuk arak-arakan tabut.
4.
Imamah (kepemimpinan)
Imamah
adalah keyakinan bahwa setelah Nabi saw wafat harus ada pemimpin-pemimpin Islam
yang melanjutkan misi atau risalah Nabi. Atau, dalam pengertian Ali Syari’ati,
adalah kepemimpinan progresif dan revolusioner yang bertentangan dengan
rezim-rezim politik lainnya guna membimbing manusia serta membangun masyarakat
di atas fondasi yang benar dan kuat, yang bakal mengarahkan menuju kesadaran,
pertumbuhan, dan kemandirian dalam mengambil keputusan. Dalam Syi’ah,
kepemimpinan itu mencakup persoalan-persoalan keagamaan dan kemasyarakatan.
Imam bagi mereka adalah pemimpin agama sekaligus pemimpin masyarakat. Pada
umumnya, dalam Syi’ah, kecuali Syi’ah Zaidiyah, penentuan imam bukan
berdasarkan kesepakatan atau pilihan umat, tetapi berdasarkan wasiat atau
penunjukan oleh imam sebelumnya atau oleh Rasulullah langsung, yang lazim
disebut nash.
5.
‘Ishmah
Dari
segi bahasa, ‘ishmah adalah bentuk mashdar dari kata ‘ashama yang
berarti memelihara atau menjaga. ‘Ishmah ialah kepercayaan bahwa para
imam itu, termasuk Nabi Muhammad, telah dijamin oleh Allah dari segala bentuk
perbuatan salah atau lupa. Ali Syari’ati mendefinisikan ‘ishmah sebagai
prinsip yang menyatakan bahwa pemimpin suatu komunitas atau masyarakat yakni,
orang yang memegang kendali nasib di tangannya, orang yang diberi amanat
kepemimpinan oleh orang banyak—mestilah bebas dari kejahatan dan kelemahan.
6.
Mahdawiyah
Berasal
dari kata mahdi, yang berarti keyakinan akan datangnya seorang juru
selamat pada akhir zaman yang akan menyelamatkan kehidupan manusia di muka bumi
ini. Juru selamat itu disebut Imam Mahdi. Dalam Syi’ah, figur Imam Mahdi jelas
sekali. Ia adalah salah seorang dari imam-imam yang mereka yakini. Syi’ah Itsna
‘Asyariyah, misalnya, memiliki keyakinan bahwa Muhammad bin Hasan al-Askari
(Muhammad al-Muntazhar) adalah Imam Mahdi. Di samping itu, Imam Mahdi ini
diyakini masih hidup sampai sekarang, hanya saja manusia biasa tidak dapat
menjangkaunya, dan nanti di akhir zaman ia akan muncul kembali dengan membawa
keadilan bagi seluruh masyarakat dunia
7.
Marja’iyyah atau Wilâyah al-Faqîh
Kata
marja’iyyah berasal dari kata marja’ yang artinya tempat
kembalinya sesuatu. Sedangkan kata wilâyah al-faqîh terdiri dari dua
kata: wilâyah berarti kekuasaan atau kepemimpinan; dan faqîh
berarti ahli fiqh atau ahli hukum Islam. Wilâyah al-faqîh mempunyai arti
kekuasaan atau kepemimpinan para fuqaha.
8.
Raj’ah
Kata
raj’ah berasal dari kata raja’a yang artinya pulang atau kembali.
Raj’ah adalah keyakinan akan dihidupkannya kembali sejumlah hamba Allah swt
yang paling saleh dan sejumlah hamba Allah yang paling durhaka untuk
membuktikan kebesaran dan kekuasaan Allah swt di muka bumi, bersamaan dengan
munculnya Imam Mahdi. Sementara Syaikh Abdul Mun’eim al-Nemr mendefinisikan raj’ah
sebagai suatu prinsip atau akidah Syi’ah, yang maksudnya ialah bahwa sebagian
manusiaakan dihidupkan kembali setelah mati karena itulah kehendak dan hikmat
Allah, setelah itu dimatikan kembali. Kemudian di hari kebangkitan kembali
bersama makhluk lain seluruhnya. Tujuan dari prinsip Syi’ah seperti ini adalah
untuk memenuhi selera dan keinginan memerintah. Lalu kemudian untuk membalas
dendam kepada orang-orang yang merebut kepemimpinan ‘Ali.
9.
Taqiyah
Dari
segi bahasa, taqiyah berasal dari kata taqiya atau ittaqâ
yang artinya takut. Taqiyah adalah sikap berhati-hati demi menjaga
keselamatan jiwa karena khawatir akan bahaya yang dapat menimpa dirinya. Dalam
kehati-hatian ini terkandung sikap penyembunyian identitas dan
ketidakterusterangan. Perilaku taqiyah ini boleh dilakukan, bahkan
hukumnya wajib dan merupakan salah satu dasar mazhab Syi’ah.
10. Tawassul
Tawassul
adalah memohon sesuatu kepada Allah dengan menyebut pribadi atau kedudukan
seorang Nabi, imam atau bahkan seorang wali suaya doanya tersebut cepat
dikabulkan Allah swt. Dalam Syi’ah, tawassul merupakan salah satu
tradisi keagamaan yang sulit dipisahkan. Dapat dikatakan bahwa hampir setiap
doa mereka selalu terselip unsur tawassul, tetapi biasanya tawassul
dalam Syi’ah terbatas pada pribadi Nabi saw atau imam-imam dari Ahlulbait.
Dalam doa-doa mereka selalu dijumpai ungkapan-ungkapan seperti “Yâ Fâthimah
isyfa’î ‘indallâh” (wahai Fathimah, mohonkanlah syafaat bagiku kepada
Allah).
11. Tawallî dan tabarrî
Kata
tawallî berasal dari kata tawallâ fulânan yang artinya mengangkat
seseorang sebagai pemimpinnya. Adapun tabarrî berasal dari kata tabarra’a
‘an fulân yang artinya melepaskan diri atau menjauhkan diri dari seseorang.
Kedua sikap ini dianut pemeluk-pemeluk Syi’ah berdasarkan beberapa ayat dan
hadis yang mereka pahami sebagai perintah untuk tawallî kepada Ahlulbait
dan tabarrî dari musuh-musuhnya. Misalnya, hadis Nabi mengenai ‘Ali bin
Abi Thalib yang berbunyi: “Barangsiapa yang menganggap aku ini adalah
pemimpinnya maka hendaklah ia menjadikan ‘Ali sebagai pemimpinnya. Ya Allah
belalah orang yang membela Ali, binasakanlah orang yang menghina ‘Ali dan
lindungilah orang yang melindungi ‘Ali.” (H.R. Ahmad bin Hanbal)
2.6 Study Kasus
pada aliran syi’ah
Study kasus yang
diambil untuk mengetahui ajaran atau alairan syi’ah yang ada pada masa modern
ini khususnya dinegara Indonesia terdapat pada suku minangkabau di Sumatera
Barat yang mnerangkan tentang “Desakralisasi Ritus Hoyak Hosen
di Pariaman Sumatera Barat”. Hal ini bertujuan agar pembaca dan penulis mengetahui pengaplikasian
aliran dan ajaran syi’ah yang dikembangkan pada zaman modern.
Islam pada permulaan
sejarah pasca wafatnya Nabi Muhammad, dihadapkan pada masalah perpecahan (ukhuwah
Islamiyah). Perpecahan ini disebabkan oleh persoalan siapa yang memimpin
umat Islam yang mulai tumbuh itu. Naiknya Abu Bakar ra dan Umar ra sebagai
amirul mukminin pada awalnya mampu meredam perpecahan lebih besar. Namun
berturut-turut pembunuhan Utsman dan Ali yang menggantikan Umar tidak mampu
membendung kekuatan fitnah-fitnah besar dalam masyarakat Muslim yang dinamis
itu. Rembesan kegagalan komunitas Islam awal itu salah satunya adalah munculnya
kelompok Syiah. Syiah awalnya adalah istilah yang netral. Ia berarti kelompok
atau partai, seperti Syiatul Ali atau partai Ali. Namun ia kemudian berkembang
menjadi istilah yang sarat ideologi ketika anggotanya mulai berpandangan orang
Islam di luar kelompoknya adalah kafir.
Penyimpangan
oleh gejala kafir- mengkafirkan ini kemudian menjadi lembaran hitam sejarah
Islam dan mewarnai penyebarannya ke berbagai daerah di dunia, termasuk di
Indonesia. Hari ini, Syiah di Indonesia dianggap kelompok sempalan atau bid’ah
(heretical), dan pengganggu keamanan. Banyak buku-buku tentang Syiah di
Indonesia dilarang, dan pengikutnya dianggap sesat. Sebagian besar ulama Sunni
yang banyak diikuti oleh umat Islam di Indonesia menjelaskan sembilan persoalan
mengapa Syiah dilarang dan ditentang penerapannya di Indonesia; yakni pemahaman
kelompok ini terhadap al Quran, Sunnah dan Hadits, ijma, Rukun Islam dan Rukun
Iman, imamah, Ahlul Bait, sahabat Nabi, at Taqiyah, dan nikah Muth’ah.
Meski demikian, ada sebagian pendapat mazhab
ini dipraktekan dalam kehidupan kaum Sunni di Indonesia, misalnya tidak sah
talak jika tidak dipersaksikan oleh dua orang. Dalam konteks historis, tidak
terlalu banyak data-data sejarah menyangkut kedatangan dan peran aliran Syiah
di Indonesia. Dalam masyarakat Indonesia, Syiah merupakan salah satu dilema
dalam kehidupan beragama. Di satu sisi ulama- ulama Syiah menjadi pionir bagi
proses Islamisasi di berbagai daerah. Di sisi lain Syiah merupakan pemahaman
keagamaan yang sulit ditelusuri dalam kehidupan keagamaan masyarakat Muslim
Indonesia hari ini. Kini, warisan pemahaman Syiah, salah satunya, hanya dapat
dilacak dalam tradisi masyarakat pantai barat Sumatra; masyarakat Pariaman.
Bagi komunitas
Minangkabau, etnis yang menghuni sebagian besar wilayah Sumatera Barat,
Pariaman dalam konteks penyebaran Islam merupakan wilayah awal datangnya agama
ini. Tidak diketahui dengan pasti kapan Islam mulai masuk ke wilayah ini,
tetapi Tome Pires dalam catatan perjalanannya melaporkan bahwa pada akhir abad
ke-16, daerah Tiku Pariaman pendudukanya masih menyembah berhala Beberapa
literatur menyebutkan Islam dibawa dan disebarkan ke Minangkabau pertama kali
oleh Syaikh Burhanuddin al Ulakan Ia adalah murid dari Syaikh Abdurrauf al
Singkili. Setamat belajar dari Syaikh Abdurrauf ia kembali ke Ulakan, salah
satu nagari (village) di Pariaman untuk mengajarkan Islam ke masyarakat
Minangkabau.
Data-data
terkini dari perayaan Hoyak Hosen menunjukan keterputusan antara tradisi
Syiah kelompok Syatariyyah dan perayaannya yang baru dimulai pada awal abad
ke-19. Tradisi mengusung tabuik pertama kali dibawa dan dikembangkan
oleh oleh tentara Sipahi (Sepooy) ketika Inggris menguasai pesisir barat
Sumatra tahun 1825. Setelah Traktat London 17 Maret 1829 antara Inggris dan
Belanda, wilayah pesisir barat Sumatera yang dikuasai Inggris diserahkan kepada
Belanda dan sebagian prajurit Sepoy memilih tinggal di Pariaman.
Merekalah yang
menganjurkan diadakannya perayaan Asyura dengan membuat Tabuik untuk mengenang
kematian cucu Nabi Muhammad SAW tersebut. Anjuran ini tampaknya dapat diterima
oleh masyarakat Syatariyyah di Pariaman. Penerimaan ini dapat dilakukan karena
tarekat Syatariyyah, pasca gerakan Paderi, dan pembersihan oleh Kaum Muda tahun
1920-an, mengalami moderasi. Moderasi ini tumbuh seiring kesadaran tentang
pentingnya menghormati ahli Bait. Selain itu, kalifah-kalifah
Syatariyyah menyusun silsilah tarekat mereka dengan menempatkan imam-imam Syiah
sebagai rujukan spiritual mereka. Titik temu lain, menurut Azra adalah tentang
konsep insanul kamil (holistic human). Bagi komunitas
Syatariyyah, konsep ini mereka wujudkan dalam pemahaman Martabat yang tujuh (tujuh
tahap iluminasi absolute).
Sebelum
kedatangan tentara Sipahi ke Pariaman, tidak banyak informasi dapat ditemukan
atau ditelusuri berkaitan bagaimana masyarakat Syatariyyahnya memperingati hari
kematian Hussein sebagai dasar utama dari ritual Syiah dalam perayaan Hoyak
Hosen ini. bagaimana masyarakat. Atau bagaimana Syatarriyyah di Pariaman
memperingati kematian Husein di Padang Karbala sebagai bagian dari identitas
Syiah di masa lampau (masa Burhanuddin). Data sejarah penting sehubungan dengan
perayaan ini adalah penelitian Kartomi (1986), Sabar (1992), Ernatip, dkk (2000
dan 2001), dan Rahmanelli (2007). Keempatnya lebih banyak menjabarkan perayaan The
hoyak tabuik sebagai tradisi masyarakat Minangkabau, tanpa mengaitkannya
dengan pemahaman keagamaan Syiah yang berkembang di daerah itu. Meski demikian,
penelitian Sabar menarik untuk dilihat karena menjabarkan dinamika sejarah
perayaan ini pada abad ke-20.
Perayaan Hoyak
Hosen ini dilaksanakan guna mengenang kematian Husein dalam perang Karbela.
Dikisahkan, peperangan ini terjadi ketika Husein berusaha menjadi kalifah
universal (caliphate universal) yang direbut oleh Muawiyah bin Abi Sofyan dari
tangan Ali bin Abi Thalib. Namun sebelum sampai ke tempat Muawiyah, di sebuah
tempat bernama Karbela, ia dihadang prajurit Yazid yang kemudian membantainya
dan para pengikutnya pada tanggal 10 Muharram.
Pembantaian
Husein dan para pengikunya ini berkembang menjadi sebuah ekspresi keagamaan
melawan tiranidari kelompok Syiah karena mereka percaya dari keturunan Ali bin
Abi Thalib-lah yang semestinya menggantikan Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat
Islam. Semenjak itu, setiap tanggal 10 Muharram ini diperingatilah tragedi
Karbela ini dengan perayaan Hoyak Hosen dalam bentuk pembuatan tabuik di
Pariaman. Bentuk tabuik dirancang dengan penuh kepercayaan keagamaan
yang kental dan indah, dan di sisinya terdapat sebuah kerangka burung yang
dinama buraq yang disimbolkan sebagai kendaraan Husein ke surga .
Selama sepuluh
hari masyarakat menyiapkan bentuk tabuik yang mereka namakan dengan daraga.
Tepat pada tanggal 10 Muharram, setelah serangkaian perselisihan dua kampong
pembuat tabuik diselesaikan, maka pada sore hari tabuik ini pun dibuang ke laut
dan mengakhiri proses peringatan kematian Husesin. Secara garis besarnya, ada
beberapa tahapan pelaksanaan perayaan Hoyak Hosen ini: barantam atau
diskusi untuk membuat rencana kegiatan serta badan tabuik yang diadakan pada
tanggal satu Muharram. Setelah diskusi rampung maka dilengkapi dengan prosesi maambiak
tanah atau mengambil segumpal tanah, dengan menjaga kerahasiaan waktu yang
tepat dan tempat di. Kerahasiaan ini sangat penting untuk menjaga supaya tidak
ada sabotase dari pihak kampung sebelah. Kegiatan ini dipimpin oleh seorang
pawang dengan sekitar seratus orang di setiap sisi sungai yang ditemani dengan
iringan gendang tasa. Pengambilan tanah ini menyimbolkan pengambilan jenazah
Hussein yang terbunuh di Padang Karbela. Setelah tanah itu diambil, kemudian dibawa
ke daraga atau simbol dari kuburan Hussein dengan iringan riuh para
pengantar.
Setelah daraga
atau kerangka tabuik dibuat, maka prosesi hari berikutnya adalah memotong
batang pisang dengan membawa sebilah pedang keramat yang dinamakan oleh
penduduk, pedang jenawi. Beberapa batang pisang dijejerkan di sebuah tempat
untuk kemudian ditebas dengan satu kali ayunan. Ketajaman pedang yang digunakan
menyiratkan pada pengikut Hussein kekejaman algojonyo, sehingga massa kemudian
bersorai dengan ekspresi kemarahan yang sangat.
Ekpsresi
kemarahan ini kemudian dibawa ke tengah kota. Di jalan-jalan utama anggota
rombongan berteriak histeris dan emosional sehingga pada satu titik dua
keluarga tabuik, para pewaris perayaan, bertemu sehingga pertemuan ini pun
melahirkan perkelahian massal. Meski perkelahian ini sifatnya bagian dari
prosesi, namun tidak jarang para pelakunya melakukan dengan sungguh-sungguh.
Bahkan salah satu penyebab dilarangnya perayaan hoyak hosen ini oleh
Pemerintah Kolonial adalah potensinya untuk diarahkan sebagai bagian perlawanan
terhadap mereka. Prosesi berlanjut sampai 10 Muharram dengan acara menebas
batang pisang sebagai simbol kemarahan pada tentara Muawiyah, dan diakhir
dengan dibuangnya tabuik ke laut.
Dari study kasus
tradisi tanah Minangkabau di Sumatera Barat inilah bentuk-bentuk penyebaran kelompok-kelompok
syi’ah melalui budaya-budaya masyarakat dengan
mengait-ngaitkan budaya yang mereka lakukan dengan peristiwa pembunuhan
Husain dan peristiwa awal muncunya aliran syi’ah dengan konflik yang terjadi
dengan Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Masih banyak lagi kasus-kasus
penyebaran Syi’ah yang terjadi pada zaman modern ini, seperti aliran syi’ah
yang berkembang pada daerah Iran dan Amerika Serikat. Beberapa literature
menyebutkan bahwasannya aliran teologi klasik yang masih berkembang dizaman
modern ini adalah aliran Syi’ah dan ASWAJA. Aswaja merupakan aliran-aliran yang
banyak dianut oleh pemeluk madzhab Islam terbesar didunia, sedangkan aliran
syi’ah dianggap aliran yang sesat karena tidak sesuai dengan tuntunan
Rasulullah Saw dan ajaran yang ada pada Al Qur’anul karim yang merupaka kalam
Allah Swt yang berupa wahyu.
BAB
III
KESIMPULAN
Dari penjelasan yang dijelaskan
pada bab pembahasan diatas dapat diambil beberapa kesimpulan mengenai golongan
syi’ah, yaitu antara lain sebagai berikut:
1. Syi’ah
menurut bahasa adalah pendukung atau pembela. Syi’ah Ali adalah
pendukung atau pembela Ali. Syi’ah Mu’awiyah adalah pendukung Mu’awiyah. Pada
zaman Abu Bakar, Umar dan Utsman kata Syi’ah dalam arti nama kelompok orang
Islam belum dikenal. Kalau pada waktu pemilihan kholifah ke-tiga ada yang
mendukung Ali, tetapi setelah ummat Islam memutuskan memilih Utsman bin Affan,
maka orang-orang yang tadinya mendukung Ali, akhirnya berbai’at kepada Utsman
termasuk Ali. Jadi, belum terbentuk secara faktual kelompok ummat Islam bernama
Syi’ah.
2. Pendapat
mengenai awal mula lahirnya Syi’ah ada dua yaitu:
a. Sebagian
menganggap Syi’ah lahir langsung setelah wafatnya Nabi Muhammad saw, yaitu pada
saat perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirin dan Anshar di Balai
Pertemuan Saqifah Bani Sa’idah. Pada saat itu muncul suara dari Bani Hasyim dan
sejumlah kecil Muhajirin yang menuntut kekhalifahan bagi ‘Ali bin Abi Thalib.
Sebagian yang lain menganggap Syi’ah lahir pada masa akhir kekhalifahan ‘Utsman
bin ‘Affan atau pada masa awal kepemimpinan ‘Ali bin Abi Thalib.
b. Pendapat
yang paling populer adalah bahwa Syi’ah lahir setelah gagalnya perundingan
antara pihak pasukan Khalifah ‘Ali dengan pihak pemberontak Mu’awiyah bin Abu
Sufyan di Shiffin, yang lazim disebut sebagai peristiwa tahkîm
atau arbitrasi. Akibat kegagalan itu, sejumlah pasukan ‘Ali memberontak
terhadap kepemimpinannya dan keluar dari pasukan ‘Ali. Mereka ini disebut
golongan Khawarij. Sebagian besar orang yang tetap setia terhadap khalifah
disebut Syî’atu ‘Alî (pengikut ‘Ali).
3. Terdapat
banyak tokoh-tokoh pada golongan syi’ah hanya saja yang paling populer seperti
‘Ali bin Abi Thalib, Hasan bin ‘Ali, Husain bin ‘Ali, terdapat pula dua tokoh
Ahlulbait yang mempunyai pengaruh dan andil yang besar dalam pengembangan paham
Syi’ah, yaitu Zaid bin ‘Ali bin Husain Zainal ‘Abidin dan Ja’far al-Shadiq.
4. Terdapat
4 kelompok utama pada syi’ah yaitu kelompok Sabaiyyah, Tawwabun, Al kisaniyyah,
Al Mughiriyyah.
5. Terdapat
11 ajaran-ajaran yang dibawa oleh Syi’ah yaitu Ahlulbait, Al-Badâ’,
Asyura, ‘Ishmah, Mahdawiyah, Marja’iyyah
atau Wilâyah al-Faqîh, Raj’ah, Taqiyah, Tawassul, serta Tawallî dan tabarrî.
Silverwood - Teton WA - Titanium Walls
BalasHapusTeton WA implant grade titanium earrings - titanium athletics Teton WA is a small village located in Teton, titanium white octane blueprint WA with thinkpad x1 titanium a small, high-rise in the heart of Teton. The structure has a total of titanium scrap price 775000 square meters,